UNTUKKU
Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu mengapa namaku
Putri, padahal kami tidak punya istana, ayahku tidak punya rakyat untuk dipimpin,
dan ibuku tidak punya mahkota. Aku datang dan berdiri di tengah- tengah dapur
ketika ibuku sedang memasak,”Mengapa namaku Putri?” kedua tangan kulipat
didepan dada, biasanya orang dewasa akan melakukan hal seperti itu ketika
mereka menuntut sebuah pertanyaan untuk dijawab, segera!
Ibu berputar- putar didapur seperti yang setiap hari
dilakukannya untuk menyiapkan ramuan yang akan kami santap bersama- sama siang
nanti. “Mengapa namaku Putri?” aku mengulang pertanyaaku dengan hidung yang
kukerutkan seperti mencium bau busuk. Kemudian ibu menoleh padaku dan tertawa
kecil.
“Karna aku suka dengan nama itu.” katanya sambil
mencubit ujung hidungku dan berlalu menuju sepanci besar sesuatu yang mendidih
di dalamnya.
“Mengapa tidak nama yang lain? seperti—“ aku berfikir
sejenak mencoba merangkai nama- nama yang mungkin saja terdengar bagus untuk
diriku. “Seperti Ayam, curut, bebek, angsa, monyet, kucing, atau bekantan?—“
sambung ibu ditengah- tengah kepalaku yang masih berputar untuk berfikir. “Kau
mau kuberi nama seperti itu? atau Hiu atau Paus atau, oh, Tuna, kau suka Tuna,
kan?”
Aku tertawa, kami berdua tertawa membayangkan
bagaimana jika saja dulu namaku Ayam, atau Bekantan , atau bahkan yang lebih
mengerikan Hiu. Bisa- bisa saja aku tidak diterima di sekolah manapun, atau
akan menjadi karung tinju orang- orang untuk diolok-olok. Kupikir semua
pertanyaanku sudah jelas terjawab sampai…… sesuatu yang sering terjadi muncul
kembali dalam kepalaku.
“Tapi, mengapa harus Putri?” pertanyaan itu sudah
bergulung dalam kepalaku sejak pulang sekolah tadi, dan terus memenuhi mulutku
untuk segera dimuntahkan.
“Karna kau seperti seorang Putri.”
Aku menunduk, menatap jari- jari kakiku yang berkerut
karna terlalu lama berkeringat didalam sepatu. Meremas-remas ujung kemeja
seragam taman kanak- kanakku. “Tapi, Diana tidak berfikir seperti itu, Diana
bilang aku tidak seperti Putri.” Seharusnya—persetan—dengan
jin cilik itu. Seharusnya aku harus menjadi tuli ketika berhadapan dengannya.
Seharusnya aku harus menendang perutnya ketika dia menjulurkan lidahnya
didepanku. Seharusnya aku harus menonjok
hidungnya keras- keras sampai berdarah ketika dia mengambil mainanku dan
membuang botol minumanku. Seharusnya aku…..aku…..
Kemudian ibu berjongkok didepanku, mengusap
ubun-ubunku dan menarik daguku mendongak menghadapnya “Kau tahu, ketika kau
lahir kami mencari nama yang cocok untukmu berhari- hari. Kami berganti nama
setidaknya lima kali karna kau terus- terusan sakit dan keadaanmu memburuk. Kemudian
kami menemukan nama ini, dan siang malam aku berdoa semoga saja nama ini bisa
membantumu bertahan karna aku tidak ingin kehilanganmu, aku menaruh harapan
terbesarku didalam nama tersebut—Putri. Dan lihatlah sekarang, siapa yang
berdiri didepanku dengan baju seragam sekolah bau keringat?” ibu mengelus
kepalaku lagi.
“Aku tahu kau akan bertahan bersama dengan harapanku, dan
tumbuh menjadi keras kepala dan menjengkelkan, suatu hari kau akan memanjangkan
rambutmu dan menumbuhi poni,suatu hari kau akan berusia 17, suatu hari kau akan
kecewa dan menagis, suatu hari kau akan gagal dan berhasil, dan sebelum bahkan
ketika hari- hari itu datang kau akan terus menjadi seorang Putri untukku. Diana
tidak akan pernah tahu itu, karna dia hanya mencarimu didalam buku cerita; mengenakan
gaun yang indah, sepatu kaca, wajah yang cantik, tidur didalam istana, sempurna.
Kau tidak akan menjadi salah satu dari hal- hal tersebut, karna kau adalah
dirimu dan kau melebihi dari pada itu.”
“Kau tidak akan menjadi sesuatu yang mereka putuskan, You
Will become a Princess like you should be, with all of your flaw and beautiful. Sometime, something just only can
be found when we trying to feel it not see it. And you always become Princess
what ever you form for me.”
nb:tulisan yang hanya sekedar tulisan, mungkin.