Tampilkan postingan dengan label My Short Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Short Story. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2016

Kebahagian Yang Tidak Bersama (ShortStory)

Karna seharusnya sebelum pergi kau harus meminta pada setiap orang yang kau tinggalkan untuk tetap berbahagia tanpa dirimu.

Sepasang kekasih di depan mataku membuat kepalaku rasanya ingin pecah dengan segala desakan kenangan dan emosi. Aku sudah menengak dua puluh kaleng Bir sambil mengenakan setelan termahal yang aku beli kemarin untuk menghadiri pernikahan ke dua mantan istriku. Kubeli dengan harga satu bulan gajiku bekerja di perusahaan periklanan tolol. Kubeli hanya untuk menghormati pestanya yang megah dan meriah.
Dia menemukanku kembali setelah dua tahun perceraian kami. Alasannya adalah untuk mengundangku pada pernikahannya dengan laki- laki brengsek yang pasti akan sangat kubenci. Aku tidak mengerti entah maksudnya hanya untuk menambah kepaharan ledakan yang terjadi pada diriku atau ada hal lain. Aku sempat berfikir wanita yang pernah kunikahi ini begitu brengsek ternyata. Tetapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang pernah kukatakan padanya dulu. “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti.” dan dia menjawab tantanganku beberapa hari lalu dengan membawa undangan pernikahannya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi yag pernah kami datangi ketika masih bersama dulu. Dia memakai dress warna merah muda tanpa lengan, rambutnya tergerai dibalik bahunya. Melihatnya seperti melihat hantu yang jadi kenyataan.
“Susah sekali menemukanmu.” Katanya
“Aku sedang berhenti hidup belakangan ini.” aku tidak berkmaksud sinis. Tetapi kata- kataku malah terdengar seperti desingan parang yang sedang di asah. Mantan istriku mengulum senyum tipis. Entah dia merasa sakit hati atau tidak.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini.” disodorkan selembar undangan dalam balutan plastik licin. “Undangan pernikahanku.”
“Jauh- jauh mencariku hanya untuk memberikan ini?”
“Iya.”
“Haha, kau tidak usah repot- repot lah. “
“Kau yang memintaku dulu.”  katanya . “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti. Seperti itu permintaanmu, kan?”
Dan dia ingin bilang bahwa dia begitu bahagia sekarang tanpa diriku?
Kuambil undangannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke dalam tas kerja, berdesakan dengan berkas- berkas pekerjaanku yang tidak pernah habis.
“Terimakasih sudah memberitahuku bahwa kau sudah bahagia sekarang.” aku menyesap kopi, seolah ini percakapan santai yang bisa di selangi dengan sesapan kopi. “Tapi sebenarnya kau tidak perlu memenuhi permintaan itu.”
“Harus.”
“Mengapa?”
“Ini terjadi karna dirimu.”
Aku mengerutkan kening.
“Jika tidak gagal bersamamu aku tidak akan sampai pada tahap ini.”
Gagal? Aku mengulang kata- kata itu dalam kepalaku ratusan kali dengan kecepatan bintang. Mendapati kenyataan bahwa kau hanyalah sebuah kegagalan yang menuntun seseorang pada kebahagiannya adalah cara tercepat untuk bunuh diri.
Dia pernah mengatakan padaku bahwa perceraian harus terjadi karna cinta tidak cukup untuk menampung kami berdua. “ Yang kita miliki hanya ingatan bahwa kita pernah jatuh cinta dan itu tidak cukup untuk menjadi alasan mempertahankan ribuan ketidak cocokan yang kita miliki satu sama lain. Kita hanya selalu bertabrakan dan menyakiti diri masing- masing. Dan aku tidak ingin menjadi penyakit untuk siapapun terutama dirimu.” setelah itu kami bercerai. Sesingkat itu.
“Andai saja kita tidak gagal.” Kataku setengah tertawa.
“Terkadang ada yang harus kita ikhlaskan karna tidak semua hal bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga harus realistis.”
Dan perasaanku yang jatuh pada dirinya bukanlah hal yang realistis?
Aku tidak bisa menjawab apapun. Yang kulakukan adalah menyelamatkan sisa- sisa kekuatan untuk menyambung kehidupan setelah keluar dari kedai kopi ini nanti. Aku tidak pernah membayangkan hari ini datang seperti ledakan bom bunuh diri yang disematkan di dalam sela- sela arteri atau jantungku.
“Aku tidak bermaksud memperparah ledakan yang terjadi padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berusaha berbahagia seperti yang pernah kau minta, dan begitu juga yang kuinginkan darimu. Jika keduanya dari kita berhenti menjadi orang yang bahagia maka kita akan hanya menjadi penyakit untuk satu sama lain. Dan aku benci itu.” katanya sambil menggenggam tanganku erat sekali.
“Jika kita adalah dua orang yang tidak bahagia ketika bersama, setidaknya kita bisa menjadi dua orang yang bahagia ketika tidak bersama.”
“Berbahagialah, Murf…”


Jumat, 04 Desember 2015

Untukku


UNTUKKU


Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu mengapa namaku Putri, padahal kami tidak punya istana, ayahku tidak punya rakyat untuk dipimpin, dan ibuku tidak punya mahkota. Aku datang dan berdiri di tengah- tengah dapur ketika ibuku sedang memasak,”Mengapa namaku Putri?” kedua tangan kulipat didepan dada, biasanya orang dewasa akan melakukan hal seperti itu ketika mereka menuntut sebuah pertanyaan untuk dijawab, segera!
Ibu berputar- putar didapur seperti yang setiap hari dilakukannya untuk menyiapkan ramuan yang akan kami santap bersama- sama siang nanti. “Mengapa namaku Putri?” aku mengulang pertanyaaku dengan hidung yang kukerutkan seperti mencium bau busuk. Kemudian ibu menoleh padaku dan tertawa kecil.
“Karna aku suka dengan nama itu.” katanya sambil mencubit ujung hidungku dan berlalu menuju sepanci besar sesuatu yang mendidih di dalamnya.
“Mengapa tidak nama yang lain? seperti—“ aku berfikir sejenak mencoba merangkai nama- nama yang mungkin saja terdengar bagus untuk diriku. “Seperti Ayam, curut, bebek, angsa, monyet, kucing, atau bekantan?—“ sambung ibu ditengah- tengah kepalaku yang masih berputar untuk berfikir. “Kau mau kuberi nama seperti itu? atau Hiu atau Paus atau, oh, Tuna, kau suka Tuna, kan?”
Aku tertawa, kami berdua tertawa membayangkan bagaimana jika saja dulu namaku Ayam, atau Bekantan , atau bahkan yang lebih mengerikan Hiu. Bisa- bisa saja aku tidak diterima di sekolah manapun, atau akan menjadi karung tinju orang- orang untuk diolok-olok. Kupikir semua pertanyaanku sudah jelas terjawab sampai…… sesuatu yang sering terjadi muncul kembali dalam kepalaku.
“Tapi, mengapa harus Putri?” pertanyaan itu sudah bergulung dalam kepalaku sejak pulang sekolah tadi, dan terus memenuhi mulutku untuk segera dimuntahkan.
“Karna kau seperti seorang Putri.”
Aku menunduk, menatap jari- jari kakiku yang berkerut karna terlalu lama berkeringat didalam sepatu. Meremas-remas ujung kemeja seragam taman kanak- kanakku. “Tapi, Diana tidak berfikir seperti itu, Diana bilang aku tidak seperti Putri.” Seharusnya—persetan—dengan jin cilik itu. Seharusnya aku harus menjadi tuli ketika berhadapan dengannya. Seharusnya aku harus menendang perutnya ketika dia menjulurkan lidahnya didepanku. Seharusnya aku harus menonjok  hidungnya keras- keras sampai berdarah ketika dia mengambil mainanku dan membuang botol minumanku. Seharusnya aku…..aku…..
Kemudian ibu berjongkok didepanku, mengusap ubun-ubunku dan menarik daguku mendongak menghadapnya “Kau tahu, ketika kau lahir kami mencari nama yang cocok untukmu berhari- hari. Kami berganti nama setidaknya lima kali karna kau terus- terusan sakit dan keadaanmu memburuk. Kemudian kami menemukan nama ini, dan siang malam aku berdoa semoga saja nama ini bisa membantumu bertahan karna aku tidak ingin kehilanganmu, aku menaruh harapan terbesarku didalam nama tersebut—Putri. Dan lihatlah sekarang, siapa yang berdiri didepanku dengan baju seragam sekolah bau keringat?” ibu mengelus kepalaku lagi.
“Aku tahu kau akan bertahan bersama dengan harapanku, dan tumbuh menjadi keras kepala dan menjengkelkan, suatu hari kau akan memanjangkan rambutmu dan menumbuhi poni,suatu hari kau akan berusia 17, suatu hari kau akan kecewa dan menagis, suatu hari kau akan gagal dan berhasil, dan sebelum bahkan ketika hari- hari itu datang kau akan terus menjadi seorang Putri untukku. Diana tidak akan pernah tahu itu, karna dia hanya mencarimu didalam buku cerita; mengenakan gaun yang indah, sepatu kaca, wajah yang cantik, tidur didalam istana, sempurna. Kau tidak akan menjadi salah satu dari hal- hal tersebut, karna kau adalah dirimu dan kau melebihi dari pada itu.”
“Kau tidak akan menjadi sesuatu yang mereka putuskan, You Will become a Princess like you should be, with all of your flaw and  beautiful. Sometime, something just only can be found when we trying to feel it not see it. And you always become Princess what ever you form for me.”


nb:tulisan yang hanya sekedar tulisan, mungkin.

Kamis, 08 Oktober 2015

Letter For Summer

"You can love someone so much, but you can never love people as much as you can miss them"__John Green

I love you, i knew you knew it. You said that i should go, because you should leave. We can remember each other even we both lying in the machine time, because it was my amazing journey, your amazing journey, our amazing journey. Did you promise me that you won't forget my name? i keep thinking about that last conversation.

We are collide, and something has collide should be separate sometimes. How could i accept to have a thought like that, my brain shout out 'over' to the mirror while my heart calling out your name. How is the brain and heart become difference in same me? which one i supposed to trust between heart and brain while you walk away?

You said i deserve to be loved constantly with hungry hearts and hands out there, but why those people not you? 

i'm not trying to be dramatic drowning in you, because let me clear something here, i never plan to love you but my heart did.I hope you can understand which one i trust now.


be happy love.


always.




                          somewhere you used to know.




Senin, 14 September 2015

Perjalanan



“Cinta adalah bagian terbaik dari cerita apapun.” Aku pernah membaca kalimat ini di salah satu buku yang pernah kupinjam. Aku lupa yang mana, aku banyak meminjam buku. Membaca adalah salah satu perlindungan yang dari dulu kulakukan. Tidak punya banyak pilihan. Jika membaca kau bisa sembunyi dari Bumi dan membangun duniamu sendiri kan?  di bumi banyak alien, jadi kau harus punya dunia lain, kalau- kalau mereka menyerang kau bisa selamat dari penyerangan.
Aku mengalami tabrakan parah. Terbentur hingga bagian dalamku rusak parah. Tabrakannya terjadi ketika aku tengah dalam perjalanan yang cukup menyenangkan, tanpa sadar aku menabrak pembatas jalan. itu terjadi dua tahun lalu, tapi rasanya sudah terjadi puluhan juta tahun yang lalu dan kerusakan parahnya masih ada sampai sekarang. Bocor dimana- mana, retak, hancur, dan hal- hal mengerikan lainnya yang pernah dokter bilang di depan wajahku ketika aku tertidur.
Aku membawa kerusakan parah kemanapun; ke sekolah, toko buku, taman olah raga, pasar, super market, toko roti, rumah sakit, ke manapun. Aku tidak ingin orang lain tahu tentang kerusakan parahku. Karna mereka tidak akan mengerti bagian mana yang hancur atau bocor atau sudah copot, dan takutnya akan menambah kerusakan yang lebih parah jika kuceritakan pada mereka.
Jadi, aku tertawa sepanjang hari. Hanya pada beberapa kesempatan aku kalah dari kerusakan paraku, jadi aku menangis didalam kelas sendirian. Kalau aku nangis tidak ada yang akan menyadarinya. Orang- orang sulit menyadari apa yang sedang terjadi padaku. mereka sulit menerjemahkan kode morse yang kukirim dari satelitku, hanya beberapa orang yang memang punya hati mulia yang akan mengerti, mungkin. Lagipula, tidak masalah dengan orang- orang karna terkadang aku juga tidak ingin memahami mereka. Kajian mereka terlalu tinggi jadi sulit di mengerti olehku.
Jika kau tanya seberapa sakit kerusakan parah yang terjadi padaku, aku tidak bisa mengatakannya padamu, tidak bisa dibilang dengan skala 1-10 juga. Sakitnya berbentuk nyeri yang menjalar dengan kecepatan cahaya bintang. Sementara waktu, dokter menutup kerusakan parahku dengan gelembung tertawa yang tipis, suatu hari mungkin bisa pecah jika tidak di tolong.
Orang- orang melihatku dengan rasa kasihan yang setengah di buat- buat, atau mungkin dengan sepenuh hati, belakangan aku sulit membedakan hal- hal semacam itu. Beberapa waktu lalu, seseorang datang menemuiku ketika aku dan shoezy bermain. Katanya dia seorang Dokter, dia menawariku sebuah perbaikan atas semua kebocoran, keretakan, dan kehancuran yang terjadi bekas tabrakan. Dia dokter yang baik, setiap kali memeriksa kerusakanku dia selalu memberiku gula- gula. Jujur saja, itu hal yang menyenangkan untuk anak kecil yang habis tertabrak dan mengalami kecacatan, mungkin.
Suatu hari dia mengajukan suatu tawaran untuk mengoperasi seluruh kerusakanku. Sudah kubilang aku rusak parah, banyak onderdil yang harus diganti dan itu mungkin cukup mahal dan mungkin saja suku cadangnya sulit di dapat. Kemudian dia bilang ‘Kita bisa mengganti dengan suku cadang yang sudah ada, suku cadang sulitmu akan di ganti dengan suku cadang yang lebih mudah di dapat, yang lebih murah juga, asalkan kau bisa sama seperti anak lainnya’. Suku cadang yang murah? Yang tidak begitu berharga? Tentu. Itu saja yang mudah di dapat kan?
Kau tahu apa yang aku katakan ketika kami sampai di ruang operasi? Aku menolak mentah- mentah tawarannya. Dokter itu agak terkejut, belum ada yang menolak kemurahan hatinya selama ini. Baru aku. Dan mungkin hanya aku. Dengan kening berkerut dia berkata ‘Kenapa kau menolak kemurahan hatiku?’.
Kemudian aku menjawab ‘Ya, kau mungkin murah hati sekali. tapi aku tidak ingin di tukar dengan suku cadang yang lebih murah. Suku cadangku rusak tapi masi tetap berfungsi. Dan, satu hal, jika aku mengganti semua suku cadangku dengan suku cadang yang akan kau berikan, maka semua ingatan perjalananku yang cukup menyenangkan akan pecah, berantakan di udara, dan menghilang bersama hujan, dan aku tidak ingin itu terjadi. Anak- anak mana pun tidak akan pernah mendapati perjalanan semacam ini, bahkan mungkin kau. Karna ini perjalanan yang paling berharga.’


Minggu, 06 September 2015

Harga Mati


Kau tahu, aku pernah bodoh sekali berfikir membuang semuanya, maksudku, membuang semua yang mungkin hampir mendefinisikan keseluruhan diriku yang kecil. Yeah, seperti yang (mungkin) kau ketauhi tentangku; menulis dan bernyanyi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar sampai kapanpun. Kemudian, suatu hari(saat usiaku remaja, sekarang aku sudah dewasa, kata ibuku begitu) aku pernah ingin bertukar ‘Harga Mati’ku itu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terus- terusan keluar dari mulut jorok mereka, mengadopsi sebuah organisme baru yang bisa menginvasikan diriku. Mulut jorok mereka tidak habis- habisnya mengoceh bilang bahwa ini bisa membuatku jadi seorang Putri sungguhan.
Mungkin karena penolakan yang mereka berikan berkali- kali membuat pemikiran hina semacam itu muncul dalam kepalaku. Setelah dewasa aku baru megerti bahawa mereka itu orang tolol dengan sejumlah penolakan tolol yang mereka berikan padaku.
Suatu ketika, saat aku sedang duduk di teras rumah sambil membaca komik- komik yang di pinjam pamanku di suatu tempat yang aku tidak tahu di mana (omong-omong pamanku itu termasuk orang yang meracuniku dengan kegiatan membaca setelah ayahku) ibuku keluar, duduk si sampingku sambil kipas- kipas. Dia tanya apa yang sedang kubaca, kemudian kujawab bahwa aku sedang membaca komik gratis yang kucuri dari rak pamanku. Ibuku sempat melotot, yah, tahu saja lah, peraturan di rumah kami itu ketat seklai tentang ini- itu.
Sebenarnya saat itu dalam kepalaku sedang terjadi keributan ini- itu. Semua anggota dewan tengah melakukan rapat paripurna tentang ‘Harga Mati’ yang akan kutukar sebentar lagi. Makanya, aku baca komik paman sampai mataku mampus. Ibuku terus kipas- kipas dan kemudian bertanya, “Kenapa kau suka baca buku sih?”. Ku jawab “Gara- gara ayah.”  Sebenarnya tidak sepenuhnya ayah, ibuku juga jadi orang yang bertanggung jawab atas racun- meracuni ini. Ibu dan ayahku selalu bergerak bersama mendidik kami dengan kemampuan seadanya ketika ‘Depresi Besar’.
Ibu: kau tidak capek duduk lama dan baca?
Aku: yah, kadang bokongku sakit sih, tapi bisa tiduran sambil membaca.
Ibu: ayahmu dari dulu suka membaca, dia bilang, dia berhenti sekolah dini sekali karna suatu hal. Tapi setiap kali menemukan buku, dimanapun; di jalan, tong sampah, loakan, pabrik-pabrik, dia selalu menyelamatkannya dan di bawa pulang kerumah buat di baca. Katanya, belajar itu bisa dilakukan dimana saja asal punya kemauan.
Aku: ibu tidak suka baca?
Ibu: suka, waktu muda, aku dan ayahmu sering beli buku- buku bekas, yah walaupun jenis bacaan kami berbeda sih. Dan kemudian sirkulasi kehidupan kami berubah dan kami mulai kurang baca.
Aku: kenapa ibu tidak pernah baca buku lagi sekarang? Bersama aku. kita bisa pinjam buku atau beli yang bekas saja.
Ibu: tidak. aku tidak ingin baca buku apapun sebelum membaca buku pertamamu.
Itu semacam fenomena yang membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, dan aku tertabrak truk, terlontar ke langit kemudian terhempas di atas tanah. Hatiku hancur seketika, aku ingin menangis, tapi tidak kulakukan di depan ibu. Aku tidak percaya bagaimana bisa aku bodoh sekali selama ini. Ibu mencintai ‘Harga Mati’ku dan aku malah ingin menukarnya dengan omongan jorok mereka. bagaimana bisa aku mengkhianati cinta satu orang yang mencintaiku dalam bentuk apapun demi merebut hati ribuan orang yang tidak bisa mencintaiku seperti adanya.
Sejak hari itu aku membuat perjanjian dalam kepalaku. Memastikan semua anggota rapat paripurna mencatatnya untukku (kalau- kalau aku terserang omongan jorok lagi di masa mendatang, jadi aku punya bukti bahwa aku pernah berucap janji)  bahwa aku tidak akan menukar ‘Harga Mati’ku dengan apapun.  

Usiaku 21 sekarang. Sudah semakin pendek dari masa kontrak yang diberikan. Sebentar lagi aku akan menulis sebuah tulisan ilmiahku sendiri dan menadapatkan gelar Sarjana Humaniora. Sekarang, ketika kadang- kadang sedang duduk mengerjakan ini-itu aku suka termenunng dan memikirkan cerita lalu. Kalau saja rapat paripurnaku mengambil langkah salah, mungkin aku tidak sedang di sini sekarang. Tidak ada ‘Harga Mati’ apapun yang duduk di sebelahku setiap kali di dalam bus.
Omongan  jorok semakin banyak saja saban hari. Melelahkan memang. Tapi setiap kali ingin jatuh tenggelam di samudra pasifik, aku selalu teringat percakapan ibu. Cuma itu satu- satunya alasan untuk terus jalan di atas omongan  jorok  yang lengket dan menempel di sol sepatuku (susah sekali di cuci).

Mereka hampir membuatku membunuh diriku sendiri dulu, kan?

Sabtu, 22 Agustus 2015

Cerita Tanpa Titik



Prime memegang sekeping logam di tangan kirinya. Pria itu duduk tanpa melepas jaket kulitnya saat jam belajar. Aku bisa melihat ketidakpeduliannya pada apapun sejak pertama kali aku melihatnya. Penggunaan katanya yang hemat sekali, juga kontak fisiknya yang sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Sejauh ini dia tidak pernah menunjukkan apapun tentangnya, keahliannya, kesukaannya, kebenciannya, dan kemurungannya. Semuanya terasa abu- abu dan dia terlihat begitu tenang seperti air danau. Bagi Prime, duduk di bangku paling belakang tidak pernah menjadi masalah. Duduk di mana pun tidak pernah dipermasalahkan olehnya. Kursinya selalu terlihat dingin dan berembun.
Kami tidak pernah bicara. Tetapi, sesekali jika ada kesempatan aku sering memperhatikannya. Memperhatikan bagaimana dia mengedipkan mata dan sesekali memejam dalam waktu yang lama. Jika sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, Prime selalu berhasil menangkapku. Dan kami tengelam dalam diam, bersembunyi dari balik dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki. Jika terjadi percakapan, itu hanya kami lakukan dengan bahasa mata atau tarikan nafas.
Prime tidak pernah berpengaruh dalam apapun. Tidak dalam hal positif atau negatif. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan dia bodoh. Harus kuakui kepintarannya dalam memahami Shakespeare mendahului siapapun, tetap saja, dia tidak suka disuruh mengarang untuk lomba sekolah.
Sekarang kepingan logam itu beegelinding di buku- buku jarinya. Sempat menjadi pertanyaanku mengapa dia terus bermain dengan kepingan logam itu sepanjang hari ini. Aku tidak perlu bertanya pada Prime, urusanku lebih banyak dibanding mengurusi kepingan logam Prime.
Ketika Bu Dodds menulis Integral di papan tulis, aku tergoda lagi untuk berbalik ke belakang dan melihatnya. Entah mengapa, Prime terlihat begitu misterius hari ini. Begitu menyulut rasa penasaran juga prihatinku dalam waktu bersamaan. Beberapa kali aku mengatur waktu yang tepat agar tidak ketahuan Bu Dodds. Tetapi bermain di jam pelajaran Bu Dodds adalah keputusan yang salah. “Violet” suara wanita itu menggema memantul dari meja- meja yang menegang. Seisi kelas menghakimiku. Sebagian merasa  bersyukur, sebagian lagi merasa kasihan. “Apa yang menarik perhatianmu sedari tadi?”
“Tidak ada Bu” jawabku.
“Kau mencuri waktu diantara penjelasanku di papan tulis, jangan kau berani berfikir aku bodoh” wanita itu mendekat. Bau manis parfumenya selalu tercium begitu busuk di hidung- hidung kami yang gugup. Sejujurnya dia tidak pernah tercium manis atau bahkan pahit.
“Tidak Bu” aku mengutuk. Apa tidak ada kata yang lebih tangguh dari itu?
“Apa yang kau perhatikan di belakang?” kemudian dia memindai deretan belakang. Di sana ada; Larie, Vabian, Fee, dan Prime. Ke-emapat dari mereka sama- sama menghujamku dengan tatapan yang sulit ku terjemahkan dalam keadaan seperti ini.
“Larie?” secepat cahaya bintang Larie menegang. Rambutnya yang jatuh menutupi matanya terlihat lepek dengan keringat. Bu Dodds melihat ke arah Larie dan aku secara bergantian. Curiga ada sesuatu yang kami sembunyikan. Aku mengepit perutku. Sejurus rasa mules menubruk dan merusak tata surya metabolismeku
“Bu..bukan.. bu. Bukan Larie. Saya tidak melihatnya. Saya tidak melihat sipapun?”
Ketika tatapan menghakimi itu tidak pernah berkurang dari teman- teman sekelasku, saat itu aku baru menyadari begitu asing mereka bagiku. Bu Dodds melangkah lebih mendekatiku. Dalam hati aku memohon agar dia tidak mendengar detak jantungku yang melolong dengan ritme ketakutan.
“Tidak, bukan Larie. Aku tahu. Tapi Prime”
Seisi kelas mendesah. Berbisik. Menggerutu. Atau menyumpah. Rasanya nama Prime melonggarkan korset di perut mereka hingga mereka terlihat lebih rileks dengan keteganganku yang menjadi- jadi. Anehnya aku tidak mengeluarkan kata apapun ketika Bu Dodds menyebut nama Prime didepan wajahku.
Dari arah belakang Prime melihatku. Mungkin dia menatap punggungku yang kurus, makanya aku merasa punggungku seperti meleleh dengan bulir- bulir keringat meluncur dari tulang belakangku hingga menembus rok sekolahku.
“Apapun urusan yang kau dan Prime miliki, tolong jangan mangacaukan kelasku” bisikannya persis seperti desisan ular hingga setiap vokalnya tidak terdengar jelas.


Hari itu terasa lebih panjang dari hari- hari lain yang begitu sangat panjang bagiku. Dalam hati aku sepakat bahwa bau badanku sangat asam sekarang, di lansir dari kelembaban seragam sekolahku yang nyaris menyatu dengan kulit punggungku. Sesekali teman- teman sekelasku melirik dengan kesal saat kami keluar kelas. Aku tidak mengubris, karna ini bukan yang pertama. Aku hampir tidak pernah membuat keributan sama sekali tetapi mereka tetap buas terhadapku. Soal Prime, aku tidak mencarinya sepanjang hari setelah insiden Bu Dodds. Aku harus menunjukkan rasa bersalahku.
“Apa kita punya urusan?” sebuah suara muncul. Meluncur melewati punggungku. Kupejamkan mataku sejenak berfikir apa sebaiknya aku pingsan atau berbalik dengan keberanian baja karna aku tahu itu Prime.
Ketika aku berbalik dan kami saling berhadapan di tengah koridor, Prime masih terlihat mengenakan jaket kulit yang tadi dipakainya. Kalau begini aku bisa lebih jelas memindainya. Dia lebih tinggi dari yang sering aku tebak. Rambutnya sedikit kering tapi tidak berantakan. Jari- jarinya terlihat kasar.
“Apa aku punya urusan yang belum aku selesaikan denganmu?”
“Setelah kupikir-pikir sepertinya tidak”
“Bagus. Karna aku tidak suka dengan urusan yang tidak selesai”
Aku menunduk. Menatap ujung sepatuku juga petakan-petakan lantai yang sama besar. “Aku minta maaf,” kataku. “Seharunya aku membuat keributan lain saja tadi. Bukan keributan menyangkut dirimu”
“Jadi aku tersangkut dalam insiden tadi?”
“Tidak” jawabku tergagap.
“Tidak?”
“Bukan__maksudku, iya”  aku menunduk lagi. Merasa salah.
“Bisa kau jelaskan mengapa aku tersangkut dalam insidenmu?”
“Tidak ada masalah besar. Kau hanya baru membuat rasa heranku muncul hari ini. Awalnya aku tertarik dengan keping logammu” aku melirik tangan kirinya dan logam yang kumaksud tidak ada “Setelah kupikir lama, kau juga jarang bicara dan duduk sendirian”.
“Kau juga duduk sendirian, kita semua duduk sendirian di kelas”
“Tidak, maksudku. Kau tidak terlihat dengan siapa- siapa”
“Kau juga tidak”
“Iya, tapi, kau berbeda”
“Berbeda darimu itu pasti, aku laki- laki tulen.”
“Bukan__arghhh” erangan kesal itu terdengar tertahan dalam nada yang pelan. Percuma berdebat atas prestasi menjadi terkonyol seperti ini.
“Kau hanya tidak banyak bicara. Tidak mendominasi pada sesuatu. Tapi juga tidak bodoh atau malas” aku menarik nafas. “Kau seperti itu. Bukan masalah besar. Aku hanya tertarik untuk mempertanyakannya”.
Kini giliran Prime yang jatuh ke ujung sepatunya. Seketika aku melihat dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki meleleh seperti lilin. Pelan- pelan terlihat hal- hal yang di sembunyikannya. Seperti buku tua yang berdebu.
“Ikut aku” seru Prime.
“Apa?”
“Kau bilang kau ingin melihatku bicara. ayo ikut aku”
Laki- laki itu berjalan di depanku. Tidak terlihat takut atau marah. dia berjalan setenang biasanya. Dinding waktu pergi entah ke mana dan aku bisa melihat sesuatu menggantung di kedua bahunya. Saat itu aku tahu, dia kelelahan.
Kami melewati jalanan setapak dengan rumput- rumput liar di pinggirnya. Aku menerka- nerka ini arah menuju hutan kecil belakang sekolah. Aku pernah dengar kalau di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil yang memisah antara gedung sekolah dan pemukiman penduduk kecil. Ketika matahari terlihat merah menerpa wajah kami yang kusam, kami sampai pada sebuah pohon yang sudah di sulap menjadi gubuk kecil yang menggantung di pucuknya.
Prime menoleh kebelakang sebelum menaiki tangga gantung. Seperti mengatakan ‘Perhatikan langkahku, dan ikuti’. Kemudian gilaranku. Gubuk itu tidak terlihat lebih dari apapun. Nyaris seperti sangkar burung. Gubuknya di lengkapi jendela dan pintu mini.
Ketika pintu terbuka Prime berdiri menyamping dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. pada langit langit di gantung bohlam yang di balut dengan botol- botol minuman bekas berwarna bening. Ada tumpukan barang- barang dan beberapa buku tua dengan cover keras. Juga ada sekitar lima piringan hitam tersusun di samping fonograf. Juga ada sebuah gitar coklat yang terududuk tanpa kata di sudut rumah burung ini.
Prime membuka jaketnya kemudian menggantungya pada ranting pohon yang terpotong. Ternyata Prime punya ke dua lengan yang kuat. Urat- uratnya tegas dan berani. Kulit area lengan terlihat lebih gelap akibat terbakar. Juga otot perutnya yang tipis mengintip dari balik kancing seragam sekolah. Aku masih berdiri berputar dengan pikiranku tentang Prime dan sarang burungnya.
“Duduk saja di atas tumpukan majalah itu” aku mengikuti telunjuknya. Begitu menemui tempat yang di maksud aku langsung mendarat dengan sangat pelan.
“Kau yang bangun?” Prime duduk di atas jendela sambil bersandar pada sisi di belakangnya. Warna merah matahari di depan kami menerpa wajahnya hingga membentuk siluet.
“Iya. Kenapa? keren ya?”
“Sedikit “ kataku tanpa berniat membuatnya tersenyum seperti menarik lebar  ke dua ujung  bibirnya.
“Ini rumah rahasia ya? Seperti di film- film.”
“Bukan, ini rumah tempat bermimpi”
Sekali lagi aku mengitari rumah pohon yang hanya habis dipindai tanpa harus memutar bola matamu berkali- kali. Bau dedaunan dan ranting pohon yang terpotong menerpa kami berkali- kali. Sedang matahari terus turun ke suatu tempat di bawah kami, kemudian, Prime menjentikkan saklar lampu gantung di atas kepala kami. Ketika lampu menyala, keindahan sederhananya bertambah. Membentuk sebuah rahasia yang dingin dan nyaman.
“Jadi, kenapa kau mengajakku ke sini. Kita kan bukan__ maksudku, sebelumnya belum pernah berteman” kusibakkan rambutku ke belakang dan membentuknya menjadi gundukan tinggi di belakang kepalaku.
“Kalian semua temanku. Semua orang yang pernah bertemu denganku adalah temanku. Karna keterbatasan kemampuanku memilih-milih, kemudian aku mulai menjadikan semua orang menjadi temanku. Kalau seperti itu rasanya aku tidak sendirian tanpa harus mengajak mereka bicara. Karna mereka semua berada dalam tas ranselku”
“Jika mereka teman, seharusnya kau harus bicara”
“Untuk apa?”
“Agar kau dan mereka mengenal satu sama lain. Tanpa bicara segala hal menjadi berjalan salah arah”
“Tidak juga. Mereka Cuma cukup duduk di suatu tempat dan memperhatikanku. Ketika mereka ingin mempelajariku mereka akan segera mengerti harus bagaimana. Seperti yang kau lakukan, Violet. Kau duduk dan mengumpulkan rasa penasaranmu dalam waktu yang cukup lama. setelah kau mengerti kita akan bertemu dan bicara. Seperti saat ini. Aku membiarkan kalian mempelajariku, dan membiarkan kalian memilihku untuk menjadi teman bicara atau tidak sama sekali. aku membiarkan keputusan berada di tangan kalian, bukan ditanganku.” Prime berhenti sejenak mengumpulkan segenap udara yang masuk dari lubang hidungnya. “Aku itu semacam buas, atau lemah, atau idiot. Jika seseorang sudi mendekatiku, maka dia adalah teman. Karna dia melihatku dari ke tiga arah itu”
Penjelasan panjangnya membuatku ingin duduk lebih lama lagi. Lepaskan dulu kecemasanku tentang rumah. Toh, aku juga akan kembali ke sana mau tidak mau. kali ini biarkan aku lepas menjadi burung atau semacamnya.
Kemudian tempat itu berubah sepi. Baik aku atau Prime membiarkan nafas kami berhembus bergantian dalam diam.
“Kau punya mimpi?” katanya kemudian tanpa melihatku.
“Bagaimana denganmu?” balasku dengan pertanyaan baru.
Dari sana Prime menoleh ke arahku. Setelah menimbang sesuatu dalam kepalanya kemudian dia bangkit dan mengambil sesuatu dalam karung tumpukan barang. Tidak lama Prime kembali dengan lembaran kartu di tangannya. Awalnya aku pikir kami akan bermain kartu, karna jujur aku tidak paham dengan permainan apapun menyangkut kartu.
Prime duduk kembali di tempat semula. Tanpa memerintah apapun padaku dia mulai memutar- mutar kartu di kedua tangannya, hingga kartu bertukar- tukar gambar. Dari Queen menjadi King, kemudian Hati menjadi Wajik. Kartu terus berputar- putar di kedua tangannya. Bermain di antara sela- sela jarinya, kadang terlihat melompat dari satu jari ke jari lainnya. Seperti dia merapalkan sebuah mantra dan kartu- kartu itu mengikuti kehendaknya. Sampai ketika aku benar- benar terlena dengan permainan tangannya, dia berhenti, terdengar sebuah jentikan dan sebuah kartu As Hati muncul di depan hidungku. Hanya sebuah kartu.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku. “Kemana perginya kartu yang lain?” aku menunjuk- nunjuk dengan telunjuk yang menggantung diantara udara kosong yang memisahkan kami. Prime hanya menarik sebelah ujung bibirnya, hingga senyumnya terlihat miring dan tidak seimbang.
“Perhatikan” serunya. Kemudian selembar kartu As yang tadi di pegangnya di lempar ke udara. Kami berdua menangah mengikuti gerak kartu itu yang melayang dan menantinya turun bersama tarikan gravitasi. Namun ketika aku berharap selembar kartu yang jatuh kalah di depanku, berlembar- lembar kartu turun menghujaniku dan berserakan di lantai kayu.
“Apa? Tidak mungkin.”
“Mungkin” katanya girang, dan aku bisa merasakan setiap kerenyahan dari nada suaranya.
Untuk beberapa saat kami tertawa. Aku yang tidak percaya dia bisa melakukan itu dan Prime yang tidak percaya dia menunjukkan itu padaku. “Sudah kubilang, di sini tempat kau bermimpi”.
“Jadi kau susah- susah membuat sangkar begini hanya untuk bermain trik semacam itu?”
Prime mengangguk .“Setelah Ayahku membakar semua kartu- karut milikku. Juga beberapa barang lain yang aku punya untuk bermain trik, aku membangun tempat ini” ketika dia berkata begitu, aku merasakan segenap suara patahan menyergapku malam itu. Patahan dari dalam dirinya. Prime memungut selembar kartu clover, kemudian memainkannya.
“Setelah ayahku tahu aku menyukai ini, dia membakar semua barang- barangku tanpa sisa. Melucuti segala sesuatu yang mendefinisikan diriku. Aku tidak tahu dia marah atau kecewa saat itu. Dia hanya terlihat begitu murka.”
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba- tiba suara patahan tadi terdengar lagi, kali ini dari dalam diriku. Suara patahan yang sama nyaringnya seperti milik Prime tadi. Aku bungkam dan membiarkan Prime menceritakan ceritanya pelan-pelan sampai habis jika dia mau.
“Aku mengerti, ayahku hanya orang biasa yang tidak biasa hidup dalam kekonyolan seperti permainan trik. Dalam kamusnya, hidup itu tidak semudah trik yang aku mainkan”
“Jadi karna itu kau membangun rumah pohon?”
Prime tersenyum kemudian menoleh ke arahku. “Setelah kupikir-pikir ada bagusnya jika aku membangun tempat ini. tempat dimana aku bisa menuang mimpiku dan menyimpannya di dalam kardus- kardus. Karna aku tahu, suatu hari aku akan kehilangan diriku yang sebenarnya. Dan setidaknya jika aku punya rumah pohon, aku bisa mengenang diriku sesekali ketika aku sudah tua dan berperut buncit. Dengan begitu aku tidak menjalani hidup dengan rasa penyesalan yang penuh.”
“Kalau begitu aku tidak salah masuk ke sini” Prime manarik nafas ketika memperhatianku bicara, dan ketika dia menarik nafas dadanya yang bidang menggembung di balik seragam sekolah. “Kalau boleh aku juga ingin menanam mimpiku di sini, supaya waktu tua aku tidak terlalu menyesal juga” kataku dengan air yang mulai menggenang di pelupukku.
“Kau bisa menanam mimpi apa saja di sini, Violet. Ceritakan padaku “
Sebelum mulai, aku menekuri lantai kayu, alasanya hanya untuk mengalihkan pandangan Prime yang langsung menuju bola mataku yang kebanjiran. Aku tidak mau menangis di depan teman sekelas yang baru berbicara hari ini denganku.
“Ayahku merusak gitar satu- satunya yang kumiliki beberapa waktu lalu. Aku beli dengan hasil bekerja sebagai tukang dapur di kedai kopi. Gitarnya di banting beberapa kali di lantai kemudian di ayunkan menghantam tembok. Keadaannya rusak parah, walaupun aku sudah mencoba berkali- kali memperbaikinya. Sudah hancur. Tidak ada yang bisa di perbaiki walaupun di beri lem.”
“Rusak parah ya?”
“Banget”
“Kau ingin menjadi pemain gitar? Kau pandai main gitar?”
“Tidak begitu, hanya bisa memainkan nada- nada dasar. Aku beli karna aku ingin ada yang menemaniku ketika aku bernyanyi. Agar aku tidak sendiri. Boleh dibilang, aku suka bernyanyi. Tapi suaraku tidak bagus.”
“………………….”
“Ayahku bilang, semua musisi berakhir dalam umur yang singkat. Semua pemain seni hanya hidup hancur- hancuran. Pemain seni orang paling rusak dan tidak bisa diharapkan. Dia sering cerita kalau saat masa mudanya dulu banyak anak band yang mati karna over dosis. Katanya, Whitney Houston juga mati karna obat. “
“……………….”
“Ketika semuanya dilucuti dari kita, apa yang akan tersisa untuk kita nanti? Apa kita kan menjadi sesuatu yang baru? menjadi sesuatu yang akan membuat kita menjerit kaget setiap bercermin.”
“Membuat kita menjadi suatu cerita tanpa titik.” Ujar Prime dalam nada yang pelan. “Ketika semuanya di tulis ulang dengan bolpoin yang bukan milik kita maka kita sulit menemukan dimana kita seharusnya memberi titik. Cerita berubah menjadi hal yang tidak cukup bagi kita karna kita tidak menemukan apapun tentang diri kita sebenarnya, maka kita tidak akan mengizinkan titik mengakhiri semuanya. Apabila kita menyerah untuk memunculkan titik, maka cerita selesai. Buku di jual atau di simpan. Dengan demikian cerita bohong itu mendefinisikan kita selamanya di dunia.”
Prime bangkit. Kemudian meraih gitar yang duduk diam sedari tadi. Dia meniup debu tipis di atas gitar kemudian duduk di atas lantai kayu di hadapanku. “Tiba- tiba saja aku ingin bernyanyi” dia tersenyum simpul. Prime memetik senar dengan irama pelan dan tenang. Kemudian dia merapalkan kata- kata yang begitu pelan dari bibirnya.
“When I counted up my demons
Saw there was one for every day
With the good ones on my shoulder
I drove the other ones away”
Dalam hati aku hanya mengikuti beberapa bait yang aku tahu. Kalau aku tidak salah lagu itu berjudul Everything’s Not Lost. Prime memetik senarnya dengan mata terpejam dan bibir yang bergerak- gerak pelan. Dari sini, ketika dia terpejam seperti yang sering dilakuakannya dalam kelas, kerutan- kerutan lelah terlihat begitu jelas di ujung-ujung matanya.
“Prime, apa kau akan mengakhirinya dengan titik suatu saat?”
“Tidak, aku akan membiarkan ceritaku tanpa titik. Aku tidak akan membiarkan cerita bohong mendefinisikanku sampai habis.”
“Kalau begitu kita membiarkan mimpi- mimpi kita bersama lampu- lampu gantung, buku-buku tua, juga piringan hitam di rumah pohon ini?”
“Iya.”
“Ok.”








Kamis, 23 Juli 2015

Cerita Tanpa Judul

Cerita Tanpa Judul



Tiba- tiba saja aku berubah menjadi sosok yang selalu merindukan laut. Merindukan riak ombaknya yang selalu mengaung marah, merindukan pasirnya yang begitu mudah meluncur dari genggaman, merindukan anginnya yang selalu menampar kasar wajah dengan helai rambutku. Setiap malam sebelum jatuh tertidur aku selalu mengambil kertas dan pulpen, menulis apa saja alasan yang membuatku begitu sering merindukan laut.
Tapi setiap jatuh tertidur, terbaring menghadap langit-langit kamarku, kata-kata yang baru saja tersusun beberapa menit sebelum aku terbaring  malah menghilang seperti garam yang terlarut didalam air.
Setiap malam aku berfikir keras apa alasan selanjutnya yang harus kutulis di atas kertas yang sudah banyak sekali membentuk pola lipatan. Sampai aku mengonsumsi kafein banyak-banyak agar tetap terus terjaga, dan berfikir sambil sesekali mengetuk-ngetuk jariku ke jidat.
Ahh, mungkin karna laut ada matahari tengelam. Orang-orang suka pantulan wajah matahari yang katanya tenggelam di ujung laut. Aku menulis alasan tersebut di atas kertas. Sebersit rasa menang melintas dalam kepalaku. Tidak sia-sia rupanya berfikir keras sekali, otakku boleh juga.
Kemudian, aku berfikir lagi alasan yang lainnya. Kau tahu, memikirkan alasan-alasan ini seperti mencungkil isi otakmu keluar dari batok kepalamu. Apalagi?
“Laut?” aku mulai meracau seperti merapal mantra
“Ombak?”
“Kepiting?’ terpikir olehku bahwa mungkin saja kepiting alasannya, karna kata orang-orang aku suka kepiting. Bahkan aku tidak ingat apa aku pernah makan kepiting.
“Pasir?”
“…..”
“Perahu?”
“…..”
Semakin keras aku berfikir, semakin saraf-saraf dibelakang kepalaku seperti menggigit-gigit seperti alien kecoa kelaparan. Aku menenggak kafein lagi, mengetuk-ngetuk jidatku dengan telunjuk lagi.
“Air bah” kata-kata itu nyaris seperti suara muntahan keluar dari kerongkonganku, tapi syukurnya masih bisa terdengar jelas ucapan alphabetnya di telingaku. kemudian aku mengulangnya “Air bah”.

                                                                        *
Ombak terdengar marah. Selalu saja seperti itu, setiapa aku berdiri di depan laut, aku selalu merasa ombak marah kepadaku. Hari ini aku mengikat rambutku erat-erat. Aku benci dengan angin yang selalu menarik helai rambutku kesana-kemari. Perahu-perahu kecil terlihat semakin membesar di pelupuk mataku dari ujung laut. Dimana matahari yang selalu mereka bilang menghilang di ujung lautan? Apa dia tidak muncul di tempat yang sama? Aku tidak bisa melihatnya.
Beberapa orang tua dengan kulit hitam terbakar  tengah menarik tali besar dari laut. Mataku menyipit karna asap rokok yang kuhembus dari mulutku sendiri. Sesekali aku terbatuk. Setelah sekian lama belajar merokok aku masi saja suka tersedak dengan asap rokok sendiri.
Dua orang anak remaja jalan di depanku. mereka membawa semacam jaring yang bergulung-gulung dan di sampirkan di bahu. Dari kejauhan mereka sudah memperhatikanku. Awalnya kupikir mereka memperhatikan mobil datsunku yang warnanya mencolok sekali. Tapi, kemudian aku sadar mereka memperhatikan aku dan rokokku.
Aku hanya mencoba tersenyum seramah mungkin. Soal rokok tidak usah diambil pusing lah. Toh, tidak ada yang membuat rokok menjadi berbeda jika di hisap oleh wanita. Mereka masih sama-sama di hisap dari mulut, lagian laki-laki dan wanita apa bedanya? Mereka sama-sama punya  paru-paru yang bisa kapan saja mereka kecewakan. Mereka punya segala hal yang bisa mereka kecewakan.
Kemudian aku  memutuskan untuk duduk. Membiarkan jumpsuit merah jambuku beradu dengan pasir pantai. Biarkan saja kotor, aku punya selusin lagi di rumah. Setelah mereka menjual suaraku mereka sering memberiku barang-barang bagus untuk menyumpal lobang-lobang yang mereka buat pada diriku.
Oh ya, omong- omong aku terfikir lagi dengan alasan yang pernah setengah mati aku pikirkan hari itu tadi pagi untuk pertama kalinya. ‘Air Bah’ itu yang kemudian meluncur seperti suara muntahan dari kerongkonganku. Setelah malam itu aku meminum kafein lima gelas sehari tapi malah tertidur seperti orang mati setelahnya. Tapi aku belum menemukan penjelasan selanjutnya.
Belakangan ini aku merasa tubuhku seperti melakukan perlawanan tak kasat mata yang sering membuatku sedih. Saat aku berada di depan cermin mataku seperti menangis tanpa kuminta. Saat lagi-lagi mereka meminta suaraku untuk dijual bibirku seperti berkata-kata hal-hal yang menyedihkan. Setiap aku berfikir akan seperti apa aku besok otakku malah seperti menyeretku jauh sekali ke hari kemarin.
Aku harus akui, banyak ideologi mereka yang harus dijalankan pada diriku. aku selalu memenuhi kehendak mereka dengan smepurna. Mereka yang berhak memutuskan kapan aku harus tidur dan bangun. Kapan aku harus mandi. Kapan aku harus makan. Kapan aku harus berjalan. Kapan aku harus tertawa. Kapan aku harus menangis. Dan kapan aku harus kecewa.
Mereka yang memilih jumsuit mana yang harus kupakai saat hari minggu. Lipstik warna apa yang harus kupakai. Model rambutku di ganti seminggu sekali. minggu lalu aku punya rambut warna kuning mencolok. Beberapa bulan lalu aku pernah punya rambut yang seperti tentara.
Aku sempat berfikir, apa aku lahir dari ‘Mereka?’ saking minimnya ingatanku tentang aku sebelum memakai baju bergambar penyanyi rock Amerika tahun 60-an dan terombang ambing di laut lepas. Sesekali aku sering mendengar seseorang menangis dalam kepalaku. Tangisnya menyedihkan. Dua tahun belakangan, suara tangis itu semakin sering muncul dalam kepalaku. Semakin hari, aku semakin simpati pada si-pemilik suara. Aku ingin tahu siapa dia, kenapa dia menangis, dan mengapa dia menangis dalam kepalaku. Aku tidak marah, hanya saja aku tidak ingin dia nangis, bertemanlah denganku.
Suatu hari ditengah malam,  saat suara tangisannya memenuhi kepalaku hampir seperti air tanggul yang hampir meluap, aku berguling- guling dilantai kamar sambil menutupi kedua telingaku. Dadaku kembang kempis, sedang urat kepalaku berdenyut-denyut. Setan mana yang sudah merasuki kepalaku dan menangis siang-malam? Apa tidak bisa dia pergi dan merasuki perempuan lain selain aku.
Singkat kata, aku memutuskan untuk bicara dengannya “Siapa sih kau? Kenapa menangis dalam kepalaku?”
Suara ponselku berdering satu kali di atas ranjang. Layarnya memantulkan cahaya kemudian redup kembali. Sempat terfikir untuk mengambil ponsel dan menelfon siapa saja untuk minta tolong. Tapi kemudian niat itu kuurungkan. Bisa-bisa aku disangka gila, kemudian di bawa kerumah sakit hewan buat di bedah kepalanya.
“Siapa kau?”  tanyaku lagi
“Kau tidak kenal aku?” aku terkejut saat seperti mendengar suara tangis itu berubah menjadi sosok yang bisa berkomunikasi Oral. Spontan membuat letak dudukku berubah. Dari yang berguling-guling di lantai menjadi duduk bersila dengan tulang belakang yang berdiri lurus.
“Kau bisa bicara?”
“Tentu” jawabnya. Aku mengedip-nedipkan mata. Takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Seketika aku merasa seperti tokoh dalam buku The Host karangan Stephanie Meyer yang pernah kubaca tahun lalu. Buku itu dihadiahkan seorang teman penjaga rumah yang sering kuajak bicara. Untuk seorang penjaga rumah, dia cukup pintar dan menarik untuk diajak bicara. Buku itu menceritakan tentang alien yang menginvasi tubuh manusia.
Aku ingat tokoh utamanya Melanie Stryder yang tubuhnya jatuh dari sebuah gedung dan tidak hancur. Kemudian para Healer memasukkan alien kedalam tubuhnya. Cepat-cepat aku lari menuju cermin, mengecek retina mataku. Takutnya ada orag gila yang sudah memasukkan alien kedalam tubuhku saat aku sedang tidur. Alien suka menangis. Tapi tidak ada cincin putih sekitaran retinaku. Retinaku masih terlihat bulat, hitam, dan besar.
Pantulan diriku didalam cermin seperti melihatku aneh. Sebenarnya itu yang selalu kurasakan setiap berdiri didepan cermin. Aku merasa pantulanku selalu mengerutkan kening saat melihat aku yang berada di luar cermin. Seperti ada semacam kotoran kuda di wajahku. Pantulan itu seperti melihat penuh jijik. Jadi, aku tidak pernah tahu persis bagaimana wajahku saat didepan cermin, saat aku tertawa , wajah di cermin masih saja mengerut masam.
“Jadi, apa kau semacam alien seperi dalam buku The Host?” sambungku lagi. Suara itu terdengar tengah menarik-narik ingusnya. Suara tarikan ingus memenuhi kepalaku saat ini.
“Bukan”
“Lalu?”
“Cari tahu saja sendiri”
Cihh, sudah menangis dalam kepalaku dan menarik ingus keras-keras masi bisa sombong. makhluk macam apa sih ini.
“Jadi kenapa dalam kepalaku? kenapa tidak cari saja perempuan cantik lain?’
“Jadi kau merasa cantik?”
“Tidak juga sih”
“Kau menangis sudah bertahun-tahun di dalam sana, kau ingin sesuatu atau apa?”
“Aku sudah coba bicara tapi kau tidak paham”
“Bicara apanya? Kapan?”
“Tubuhmu yang melakukan perlawanan, kau ingat?”
“Oh, jadi itu ulahmu? Kau sudah hampir membuat mereka membunuhku saat meracau ini-itu saat seharusnya aku menyanyi”
“Aku sengaja”
ingin sekali kupukul jidatnya, tapi setelah kupikir dua kali jika ingin memukul jidatnya berarti aku harus memukul kepalaku keras-keras. Karna sosok Suara itu berada di suatu tempat dalam kepalaku.
“Bagaimana aku bisa cari tahu kau siapa? Dengan membongkar otakku?” kuperhatikan baik-baik pantulan bibirku yang bergerak naik-turun, melebar dan mengerucut di depan cermin. Lucu juga bicara sendiri di depan cermin.
“Laut” Jawabnya
“Apa?”
“Laut”
“Bagaimana kau tahu aku suka laut?”
“Klu pertamamu laut”
“Ok, baiklah”
“Dan satu lagi, coba cari tahu alasan kenapa kau begitu suka laut”

Begitulah percakapan perdanaku yang tandas dalam hitungan menit saja bersama si-alien-cengeng dalam kepalaku. sebenarnya gagasan mencari alasan mengapa aku suka laut itu datang bukan murni dari keinginanku, semakin hari aku semakin penasaran dengan klu yang diberikan si-alien. Asik juga pikirku jika aku bisa menuntaskan persoalan yang diberikan oleh kepalaku sendiri.

                                                            *


Aku kembali lagi ke laut hari ini seperti pagi itu. Tapi hari ini tidak pergi sepagi waktu itu. jadi, sudah terlihat pantulan matahari terbit di ujung laut. Aku memakai jumpsuit jeans semata kaki warna biru gelap. Omong-omong aku suka sekali memakai jumpsuit, ya?. Seperti biasa, aku pergi dengan datsunku, duduk di pantai sambil menghisap rokok.
Kau ingat, kan, hari pertama kali aku memikirkan ‘Air Bah’ sambil duduk diatas pasir laut?  sejak hari itu banyak gambar-gambar muncul di kepalaku seperti film yang putus-putus. Cuplikan-cuplikan yang cepat-cepat berganti dari satu adegan ke adegan lainnya. Dan, omong- omong soal alien, dia sudah jarang muncul belakangn ini.
Rokokku habis, aku butuh batangan rokok lagi. Jadi, kurogoh saku jumsuitku hingga menemukan sebungkus kotak rokok warna putih. Jari-jari kakiku berlumuran pasir laut. Sendal kucampakkan didalam mobil dan keluar dengan bertelanjang kaki tadi. Matahari pelan-pelan mulai naik. Orang-orang yang berlalu lalang didepanku semakin banyak. Semakin banyak yang lewat, semakin banyak yang melempar pandangan padaku, pada rokokku, juga datsun mencolok yang kusandari.

26 Desember saat kejadian itu terjadi. Air bah meluap entah dari mana, menggulung hingga permukaan padat penduduk. Aku terombang-ambing di antara segala reruntuhan bangunan dan benda-benda lainnya yang tidak pernah terpikir olehmu. Tulang belakangku terbentur berkali-kali. Tanganku tersayat-sayat entah dengan apa. Kurasa aku sudah mati, naumun ketika masih bisa terjaga aku malah terapung di atas sebuah pokok kayu di laut lepas. Aku sudah menelan satu liter lumpur saat itu, jadi merasa lemas dan tidak berdaya. Aku ingat, saat itu aku memakai baju kaus bergambar  penyanyi Rock Amerika tahun 60-an.
Setelah itu ‘Mereka’ mengadopsiku. Mengeluarkan lumpur yang sudah kutelan dan mengobati ususku yang hampir busuk. Menjahit luka-luka di seluruh lenganku. Mengobati tulang belakangku dengan baik. Merawatku dengan begitu manusiawi hari itu dan membuatku membayar semuanya di hari berikutnya.
Mereka membentukku kembali dari awal. Menghancurkan bentuk awalku dan menempa bentuk baru. memolesku dengan segala cara untuk kemudian menjadikanku seperti yang ‘Mereka’ minta. Boleh dibilang ‘Mereka’ seperti alien yang ada dalam buku The Host.
Pada dasarnya, aku persis seperti Melanie Stryder. Tokoh dalam buku The Host yang pernah kubaca. Berperang dengan sesuatu yang mengambil alih tubuhku selama bertahun-tahun. Hanya saja, aku berperang dengan diriku sendiri. Diriku yang lama dan diriku yang baru.
Setelah cuplikan-cuplikan itu menyatu seperti rantai DNA dalam kepalaku, tiba-tiba aku menangis. Sekarang aku menerima dua jenis Zat yang masing-masing membentuk diriku. diriku yang lama dan diriku yang baru. Melahirkanku dua kali bukan hal yang sulit mungkin bagi mereka, tapi bagiku terlahir dua kali seperti menelan genosida.
Untuk pertama kali sejauh yang mampuku ingat, aku menangis dengan begitu khidmat. Aku menangis atas kehendakku sendiri. Untuk pertama kali aku sadar bahwa air mata terasa hangat saat menyentuh pipi, dan ingus merupakan bagian paling mendominasi saat kau menangis.
Ombak marah lagi, bergulung-gulung di depanku. Seperti ingin berlari kearahku tapi kemudian hancur di bibir pantai. Seperti mereka mengulur tangan-tangan yang tidak akan pernah sampai kemana-mana. Sekarang ombak terlihat seperti jalanku untuk pulang. Aku ingin marah, tapi angin meredam teriakanku.






“DON’T LET SOCIETY LABEL YOU”

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post