Sabtu, 22 Agustus 2015

Cerita Tanpa Titik



Prime memegang sekeping logam di tangan kirinya. Pria itu duduk tanpa melepas jaket kulitnya saat jam belajar. Aku bisa melihat ketidakpeduliannya pada apapun sejak pertama kali aku melihatnya. Penggunaan katanya yang hemat sekali, juga kontak fisiknya yang sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Sejauh ini dia tidak pernah menunjukkan apapun tentangnya, keahliannya, kesukaannya, kebenciannya, dan kemurungannya. Semuanya terasa abu- abu dan dia terlihat begitu tenang seperti air danau. Bagi Prime, duduk di bangku paling belakang tidak pernah menjadi masalah. Duduk di mana pun tidak pernah dipermasalahkan olehnya. Kursinya selalu terlihat dingin dan berembun.
Kami tidak pernah bicara. Tetapi, sesekali jika ada kesempatan aku sering memperhatikannya. Memperhatikan bagaimana dia mengedipkan mata dan sesekali memejam dalam waktu yang lama. Jika sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, Prime selalu berhasil menangkapku. Dan kami tengelam dalam diam, bersembunyi dari balik dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki. Jika terjadi percakapan, itu hanya kami lakukan dengan bahasa mata atau tarikan nafas.
Prime tidak pernah berpengaruh dalam apapun. Tidak dalam hal positif atau negatif. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan dia bodoh. Harus kuakui kepintarannya dalam memahami Shakespeare mendahului siapapun, tetap saja, dia tidak suka disuruh mengarang untuk lomba sekolah.
Sekarang kepingan logam itu beegelinding di buku- buku jarinya. Sempat menjadi pertanyaanku mengapa dia terus bermain dengan kepingan logam itu sepanjang hari ini. Aku tidak perlu bertanya pada Prime, urusanku lebih banyak dibanding mengurusi kepingan logam Prime.
Ketika Bu Dodds menulis Integral di papan tulis, aku tergoda lagi untuk berbalik ke belakang dan melihatnya. Entah mengapa, Prime terlihat begitu misterius hari ini. Begitu menyulut rasa penasaran juga prihatinku dalam waktu bersamaan. Beberapa kali aku mengatur waktu yang tepat agar tidak ketahuan Bu Dodds. Tetapi bermain di jam pelajaran Bu Dodds adalah keputusan yang salah. “Violet” suara wanita itu menggema memantul dari meja- meja yang menegang. Seisi kelas menghakimiku. Sebagian merasa  bersyukur, sebagian lagi merasa kasihan. “Apa yang menarik perhatianmu sedari tadi?”
“Tidak ada Bu” jawabku.
“Kau mencuri waktu diantara penjelasanku di papan tulis, jangan kau berani berfikir aku bodoh” wanita itu mendekat. Bau manis parfumenya selalu tercium begitu busuk di hidung- hidung kami yang gugup. Sejujurnya dia tidak pernah tercium manis atau bahkan pahit.
“Tidak Bu” aku mengutuk. Apa tidak ada kata yang lebih tangguh dari itu?
“Apa yang kau perhatikan di belakang?” kemudian dia memindai deretan belakang. Di sana ada; Larie, Vabian, Fee, dan Prime. Ke-emapat dari mereka sama- sama menghujamku dengan tatapan yang sulit ku terjemahkan dalam keadaan seperti ini.
“Larie?” secepat cahaya bintang Larie menegang. Rambutnya yang jatuh menutupi matanya terlihat lepek dengan keringat. Bu Dodds melihat ke arah Larie dan aku secara bergantian. Curiga ada sesuatu yang kami sembunyikan. Aku mengepit perutku. Sejurus rasa mules menubruk dan merusak tata surya metabolismeku
“Bu..bukan.. bu. Bukan Larie. Saya tidak melihatnya. Saya tidak melihat sipapun?”
Ketika tatapan menghakimi itu tidak pernah berkurang dari teman- teman sekelasku, saat itu aku baru menyadari begitu asing mereka bagiku. Bu Dodds melangkah lebih mendekatiku. Dalam hati aku memohon agar dia tidak mendengar detak jantungku yang melolong dengan ritme ketakutan.
“Tidak, bukan Larie. Aku tahu. Tapi Prime”
Seisi kelas mendesah. Berbisik. Menggerutu. Atau menyumpah. Rasanya nama Prime melonggarkan korset di perut mereka hingga mereka terlihat lebih rileks dengan keteganganku yang menjadi- jadi. Anehnya aku tidak mengeluarkan kata apapun ketika Bu Dodds menyebut nama Prime didepan wajahku.
Dari arah belakang Prime melihatku. Mungkin dia menatap punggungku yang kurus, makanya aku merasa punggungku seperti meleleh dengan bulir- bulir keringat meluncur dari tulang belakangku hingga menembus rok sekolahku.
“Apapun urusan yang kau dan Prime miliki, tolong jangan mangacaukan kelasku” bisikannya persis seperti desisan ular hingga setiap vokalnya tidak terdengar jelas.


Hari itu terasa lebih panjang dari hari- hari lain yang begitu sangat panjang bagiku. Dalam hati aku sepakat bahwa bau badanku sangat asam sekarang, di lansir dari kelembaban seragam sekolahku yang nyaris menyatu dengan kulit punggungku. Sesekali teman- teman sekelasku melirik dengan kesal saat kami keluar kelas. Aku tidak mengubris, karna ini bukan yang pertama. Aku hampir tidak pernah membuat keributan sama sekali tetapi mereka tetap buas terhadapku. Soal Prime, aku tidak mencarinya sepanjang hari setelah insiden Bu Dodds. Aku harus menunjukkan rasa bersalahku.
“Apa kita punya urusan?” sebuah suara muncul. Meluncur melewati punggungku. Kupejamkan mataku sejenak berfikir apa sebaiknya aku pingsan atau berbalik dengan keberanian baja karna aku tahu itu Prime.
Ketika aku berbalik dan kami saling berhadapan di tengah koridor, Prime masih terlihat mengenakan jaket kulit yang tadi dipakainya. Kalau begini aku bisa lebih jelas memindainya. Dia lebih tinggi dari yang sering aku tebak. Rambutnya sedikit kering tapi tidak berantakan. Jari- jarinya terlihat kasar.
“Apa aku punya urusan yang belum aku selesaikan denganmu?”
“Setelah kupikir-pikir sepertinya tidak”
“Bagus. Karna aku tidak suka dengan urusan yang tidak selesai”
Aku menunduk. Menatap ujung sepatuku juga petakan-petakan lantai yang sama besar. “Aku minta maaf,” kataku. “Seharunya aku membuat keributan lain saja tadi. Bukan keributan menyangkut dirimu”
“Jadi aku tersangkut dalam insiden tadi?”
“Tidak” jawabku tergagap.
“Tidak?”
“Bukan__maksudku, iya”  aku menunduk lagi. Merasa salah.
“Bisa kau jelaskan mengapa aku tersangkut dalam insidenmu?”
“Tidak ada masalah besar. Kau hanya baru membuat rasa heranku muncul hari ini. Awalnya aku tertarik dengan keping logammu” aku melirik tangan kirinya dan logam yang kumaksud tidak ada “Setelah kupikir lama, kau juga jarang bicara dan duduk sendirian”.
“Kau juga duduk sendirian, kita semua duduk sendirian di kelas”
“Tidak, maksudku. Kau tidak terlihat dengan siapa- siapa”
“Kau juga tidak”
“Iya, tapi, kau berbeda”
“Berbeda darimu itu pasti, aku laki- laki tulen.”
“Bukan__arghhh” erangan kesal itu terdengar tertahan dalam nada yang pelan. Percuma berdebat atas prestasi menjadi terkonyol seperti ini.
“Kau hanya tidak banyak bicara. Tidak mendominasi pada sesuatu. Tapi juga tidak bodoh atau malas” aku menarik nafas. “Kau seperti itu. Bukan masalah besar. Aku hanya tertarik untuk mempertanyakannya”.
Kini giliran Prime yang jatuh ke ujung sepatunya. Seketika aku melihat dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki meleleh seperti lilin. Pelan- pelan terlihat hal- hal yang di sembunyikannya. Seperti buku tua yang berdebu.
“Ikut aku” seru Prime.
“Apa?”
“Kau bilang kau ingin melihatku bicara. ayo ikut aku”
Laki- laki itu berjalan di depanku. Tidak terlihat takut atau marah. dia berjalan setenang biasanya. Dinding waktu pergi entah ke mana dan aku bisa melihat sesuatu menggantung di kedua bahunya. Saat itu aku tahu, dia kelelahan.
Kami melewati jalanan setapak dengan rumput- rumput liar di pinggirnya. Aku menerka- nerka ini arah menuju hutan kecil belakang sekolah. Aku pernah dengar kalau di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil yang memisah antara gedung sekolah dan pemukiman penduduk kecil. Ketika matahari terlihat merah menerpa wajah kami yang kusam, kami sampai pada sebuah pohon yang sudah di sulap menjadi gubuk kecil yang menggantung di pucuknya.
Prime menoleh kebelakang sebelum menaiki tangga gantung. Seperti mengatakan ‘Perhatikan langkahku, dan ikuti’. Kemudian gilaranku. Gubuk itu tidak terlihat lebih dari apapun. Nyaris seperti sangkar burung. Gubuknya di lengkapi jendela dan pintu mini.
Ketika pintu terbuka Prime berdiri menyamping dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. pada langit langit di gantung bohlam yang di balut dengan botol- botol minuman bekas berwarna bening. Ada tumpukan barang- barang dan beberapa buku tua dengan cover keras. Juga ada sekitar lima piringan hitam tersusun di samping fonograf. Juga ada sebuah gitar coklat yang terududuk tanpa kata di sudut rumah burung ini.
Prime membuka jaketnya kemudian menggantungya pada ranting pohon yang terpotong. Ternyata Prime punya ke dua lengan yang kuat. Urat- uratnya tegas dan berani. Kulit area lengan terlihat lebih gelap akibat terbakar. Juga otot perutnya yang tipis mengintip dari balik kancing seragam sekolah. Aku masih berdiri berputar dengan pikiranku tentang Prime dan sarang burungnya.
“Duduk saja di atas tumpukan majalah itu” aku mengikuti telunjuknya. Begitu menemui tempat yang di maksud aku langsung mendarat dengan sangat pelan.
“Kau yang bangun?” Prime duduk di atas jendela sambil bersandar pada sisi di belakangnya. Warna merah matahari di depan kami menerpa wajahnya hingga membentuk siluet.
“Iya. Kenapa? keren ya?”
“Sedikit “ kataku tanpa berniat membuatnya tersenyum seperti menarik lebar  ke dua ujung  bibirnya.
“Ini rumah rahasia ya? Seperti di film- film.”
“Bukan, ini rumah tempat bermimpi”
Sekali lagi aku mengitari rumah pohon yang hanya habis dipindai tanpa harus memutar bola matamu berkali- kali. Bau dedaunan dan ranting pohon yang terpotong menerpa kami berkali- kali. Sedang matahari terus turun ke suatu tempat di bawah kami, kemudian, Prime menjentikkan saklar lampu gantung di atas kepala kami. Ketika lampu menyala, keindahan sederhananya bertambah. Membentuk sebuah rahasia yang dingin dan nyaman.
“Jadi, kenapa kau mengajakku ke sini. Kita kan bukan__ maksudku, sebelumnya belum pernah berteman” kusibakkan rambutku ke belakang dan membentuknya menjadi gundukan tinggi di belakang kepalaku.
“Kalian semua temanku. Semua orang yang pernah bertemu denganku adalah temanku. Karna keterbatasan kemampuanku memilih-milih, kemudian aku mulai menjadikan semua orang menjadi temanku. Kalau seperti itu rasanya aku tidak sendirian tanpa harus mengajak mereka bicara. Karna mereka semua berada dalam tas ranselku”
“Jika mereka teman, seharusnya kau harus bicara”
“Untuk apa?”
“Agar kau dan mereka mengenal satu sama lain. Tanpa bicara segala hal menjadi berjalan salah arah”
“Tidak juga. Mereka Cuma cukup duduk di suatu tempat dan memperhatikanku. Ketika mereka ingin mempelajariku mereka akan segera mengerti harus bagaimana. Seperti yang kau lakukan, Violet. Kau duduk dan mengumpulkan rasa penasaranmu dalam waktu yang cukup lama. setelah kau mengerti kita akan bertemu dan bicara. Seperti saat ini. Aku membiarkan kalian mempelajariku, dan membiarkan kalian memilihku untuk menjadi teman bicara atau tidak sama sekali. aku membiarkan keputusan berada di tangan kalian, bukan ditanganku.” Prime berhenti sejenak mengumpulkan segenap udara yang masuk dari lubang hidungnya. “Aku itu semacam buas, atau lemah, atau idiot. Jika seseorang sudi mendekatiku, maka dia adalah teman. Karna dia melihatku dari ke tiga arah itu”
Penjelasan panjangnya membuatku ingin duduk lebih lama lagi. Lepaskan dulu kecemasanku tentang rumah. Toh, aku juga akan kembali ke sana mau tidak mau. kali ini biarkan aku lepas menjadi burung atau semacamnya.
Kemudian tempat itu berubah sepi. Baik aku atau Prime membiarkan nafas kami berhembus bergantian dalam diam.
“Kau punya mimpi?” katanya kemudian tanpa melihatku.
“Bagaimana denganmu?” balasku dengan pertanyaan baru.
Dari sana Prime menoleh ke arahku. Setelah menimbang sesuatu dalam kepalanya kemudian dia bangkit dan mengambil sesuatu dalam karung tumpukan barang. Tidak lama Prime kembali dengan lembaran kartu di tangannya. Awalnya aku pikir kami akan bermain kartu, karna jujur aku tidak paham dengan permainan apapun menyangkut kartu.
Prime duduk kembali di tempat semula. Tanpa memerintah apapun padaku dia mulai memutar- mutar kartu di kedua tangannya, hingga kartu bertukar- tukar gambar. Dari Queen menjadi King, kemudian Hati menjadi Wajik. Kartu terus berputar- putar di kedua tangannya. Bermain di antara sela- sela jarinya, kadang terlihat melompat dari satu jari ke jari lainnya. Seperti dia merapalkan sebuah mantra dan kartu- kartu itu mengikuti kehendaknya. Sampai ketika aku benar- benar terlena dengan permainan tangannya, dia berhenti, terdengar sebuah jentikan dan sebuah kartu As Hati muncul di depan hidungku. Hanya sebuah kartu.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku. “Kemana perginya kartu yang lain?” aku menunjuk- nunjuk dengan telunjuk yang menggantung diantara udara kosong yang memisahkan kami. Prime hanya menarik sebelah ujung bibirnya, hingga senyumnya terlihat miring dan tidak seimbang.
“Perhatikan” serunya. Kemudian selembar kartu As yang tadi di pegangnya di lempar ke udara. Kami berdua menangah mengikuti gerak kartu itu yang melayang dan menantinya turun bersama tarikan gravitasi. Namun ketika aku berharap selembar kartu yang jatuh kalah di depanku, berlembar- lembar kartu turun menghujaniku dan berserakan di lantai kayu.
“Apa? Tidak mungkin.”
“Mungkin” katanya girang, dan aku bisa merasakan setiap kerenyahan dari nada suaranya.
Untuk beberapa saat kami tertawa. Aku yang tidak percaya dia bisa melakukan itu dan Prime yang tidak percaya dia menunjukkan itu padaku. “Sudah kubilang, di sini tempat kau bermimpi”.
“Jadi kau susah- susah membuat sangkar begini hanya untuk bermain trik semacam itu?”
Prime mengangguk .“Setelah Ayahku membakar semua kartu- karut milikku. Juga beberapa barang lain yang aku punya untuk bermain trik, aku membangun tempat ini” ketika dia berkata begitu, aku merasakan segenap suara patahan menyergapku malam itu. Patahan dari dalam dirinya. Prime memungut selembar kartu clover, kemudian memainkannya.
“Setelah ayahku tahu aku menyukai ini, dia membakar semua barang- barangku tanpa sisa. Melucuti segala sesuatu yang mendefinisikan diriku. Aku tidak tahu dia marah atau kecewa saat itu. Dia hanya terlihat begitu murka.”
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba- tiba suara patahan tadi terdengar lagi, kali ini dari dalam diriku. Suara patahan yang sama nyaringnya seperti milik Prime tadi. Aku bungkam dan membiarkan Prime menceritakan ceritanya pelan-pelan sampai habis jika dia mau.
“Aku mengerti, ayahku hanya orang biasa yang tidak biasa hidup dalam kekonyolan seperti permainan trik. Dalam kamusnya, hidup itu tidak semudah trik yang aku mainkan”
“Jadi karna itu kau membangun rumah pohon?”
Prime tersenyum kemudian menoleh ke arahku. “Setelah kupikir-pikir ada bagusnya jika aku membangun tempat ini. tempat dimana aku bisa menuang mimpiku dan menyimpannya di dalam kardus- kardus. Karna aku tahu, suatu hari aku akan kehilangan diriku yang sebenarnya. Dan setidaknya jika aku punya rumah pohon, aku bisa mengenang diriku sesekali ketika aku sudah tua dan berperut buncit. Dengan begitu aku tidak menjalani hidup dengan rasa penyesalan yang penuh.”
“Kalau begitu aku tidak salah masuk ke sini” Prime manarik nafas ketika memperhatianku bicara, dan ketika dia menarik nafas dadanya yang bidang menggembung di balik seragam sekolah. “Kalau boleh aku juga ingin menanam mimpiku di sini, supaya waktu tua aku tidak terlalu menyesal juga” kataku dengan air yang mulai menggenang di pelupukku.
“Kau bisa menanam mimpi apa saja di sini, Violet. Ceritakan padaku “
Sebelum mulai, aku menekuri lantai kayu, alasanya hanya untuk mengalihkan pandangan Prime yang langsung menuju bola mataku yang kebanjiran. Aku tidak mau menangis di depan teman sekelas yang baru berbicara hari ini denganku.
“Ayahku merusak gitar satu- satunya yang kumiliki beberapa waktu lalu. Aku beli dengan hasil bekerja sebagai tukang dapur di kedai kopi. Gitarnya di banting beberapa kali di lantai kemudian di ayunkan menghantam tembok. Keadaannya rusak parah, walaupun aku sudah mencoba berkali- kali memperbaikinya. Sudah hancur. Tidak ada yang bisa di perbaiki walaupun di beri lem.”
“Rusak parah ya?”
“Banget”
“Kau ingin menjadi pemain gitar? Kau pandai main gitar?”
“Tidak begitu, hanya bisa memainkan nada- nada dasar. Aku beli karna aku ingin ada yang menemaniku ketika aku bernyanyi. Agar aku tidak sendiri. Boleh dibilang, aku suka bernyanyi. Tapi suaraku tidak bagus.”
“………………….”
“Ayahku bilang, semua musisi berakhir dalam umur yang singkat. Semua pemain seni hanya hidup hancur- hancuran. Pemain seni orang paling rusak dan tidak bisa diharapkan. Dia sering cerita kalau saat masa mudanya dulu banyak anak band yang mati karna over dosis. Katanya, Whitney Houston juga mati karna obat. “
“……………….”
“Ketika semuanya dilucuti dari kita, apa yang akan tersisa untuk kita nanti? Apa kita kan menjadi sesuatu yang baru? menjadi sesuatu yang akan membuat kita menjerit kaget setiap bercermin.”
“Membuat kita menjadi suatu cerita tanpa titik.” Ujar Prime dalam nada yang pelan. “Ketika semuanya di tulis ulang dengan bolpoin yang bukan milik kita maka kita sulit menemukan dimana kita seharusnya memberi titik. Cerita berubah menjadi hal yang tidak cukup bagi kita karna kita tidak menemukan apapun tentang diri kita sebenarnya, maka kita tidak akan mengizinkan titik mengakhiri semuanya. Apabila kita menyerah untuk memunculkan titik, maka cerita selesai. Buku di jual atau di simpan. Dengan demikian cerita bohong itu mendefinisikan kita selamanya di dunia.”
Prime bangkit. Kemudian meraih gitar yang duduk diam sedari tadi. Dia meniup debu tipis di atas gitar kemudian duduk di atas lantai kayu di hadapanku. “Tiba- tiba saja aku ingin bernyanyi” dia tersenyum simpul. Prime memetik senar dengan irama pelan dan tenang. Kemudian dia merapalkan kata- kata yang begitu pelan dari bibirnya.
“When I counted up my demons
Saw there was one for every day
With the good ones on my shoulder
I drove the other ones away”
Dalam hati aku hanya mengikuti beberapa bait yang aku tahu. Kalau aku tidak salah lagu itu berjudul Everything’s Not Lost. Prime memetik senarnya dengan mata terpejam dan bibir yang bergerak- gerak pelan. Dari sini, ketika dia terpejam seperti yang sering dilakuakannya dalam kelas, kerutan- kerutan lelah terlihat begitu jelas di ujung-ujung matanya.
“Prime, apa kau akan mengakhirinya dengan titik suatu saat?”
“Tidak, aku akan membiarkan ceritaku tanpa titik. Aku tidak akan membiarkan cerita bohong mendefinisikanku sampai habis.”
“Kalau begitu kita membiarkan mimpi- mimpi kita bersama lampu- lampu gantung, buku-buku tua, juga piringan hitam di rumah pohon ini?”
“Iya.”
“Ok.”








THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post