Prime memegang sekeping logam di tangan kirinya. Pria
itu duduk tanpa melepas jaket kulitnya saat jam belajar. Aku bisa melihat
ketidakpeduliannya pada apapun sejak pertama kali aku melihatnya. Penggunaan
katanya yang hemat sekali, juga kontak fisiknya yang sangat terbatas, bahkan
hampir tidak ada sama sekali.
Sejauh ini dia tidak pernah menunjukkan apapun
tentangnya, keahliannya, kesukaannya, kebenciannya, dan kemurungannya. Semuanya
terasa abu- abu dan dia terlihat begitu tenang seperti air danau. Bagi Prime,
duduk di bangku paling belakang tidak pernah menjadi masalah. Duduk di mana pun
tidak pernah dipermasalahkan olehnya. Kursinya selalu terlihat dingin dan
berembun.
Kami tidak pernah bicara. Tetapi, sesekali jika ada
kesempatan aku sering memperhatikannya. Memperhatikan bagaimana dia mengedipkan
mata dan sesekali memejam dalam waktu yang lama. Jika sesekali aku mencuri
pandang ke arahnya, Prime selalu berhasil menangkapku. Dan kami tengelam dalam
diam, bersembunyi dari balik dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki.
Jika terjadi percakapan, itu hanya kami lakukan dengan bahasa mata atau tarikan
nafas.
Prime tidak pernah berpengaruh dalam apapun. Tidak
dalam hal positif atau negatif. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan dia bodoh.
Harus kuakui kepintarannya dalam memahami Shakespeare
mendahului siapapun, tetap saja, dia tidak suka disuruh mengarang untuk lomba
sekolah.
Sekarang kepingan logam itu beegelinding di buku- buku
jarinya. Sempat menjadi pertanyaanku mengapa dia terus bermain dengan kepingan
logam itu sepanjang hari ini. Aku tidak perlu bertanya pada Prime, urusanku
lebih banyak dibanding mengurusi kepingan logam Prime.
Ketika Bu Dodds menulis Integral di papan tulis, aku
tergoda lagi untuk berbalik ke belakang dan melihatnya. Entah mengapa, Prime
terlihat begitu misterius hari ini. Begitu menyulut rasa penasaran juga
prihatinku dalam waktu bersamaan. Beberapa kali aku mengatur waktu yang tepat
agar tidak ketahuan Bu Dodds. Tetapi bermain di jam pelajaran Bu Dodds adalah
keputusan yang salah. “Violet” suara wanita itu menggema memantul dari meja-
meja yang menegang. Seisi kelas menghakimiku. Sebagian merasa bersyukur, sebagian lagi merasa kasihan. “Apa
yang menarik perhatianmu sedari tadi?”
“Tidak ada Bu” jawabku.
“Kau mencuri waktu diantara penjelasanku di papan
tulis, jangan kau berani berfikir aku bodoh” wanita itu mendekat. Bau manis
parfumenya selalu tercium begitu busuk di hidung- hidung kami yang gugup.
Sejujurnya dia tidak pernah tercium manis atau bahkan pahit.
“Tidak Bu” aku mengutuk. Apa tidak ada kata yang lebih
tangguh dari itu?
“Apa yang kau perhatikan di belakang?” kemudian dia
memindai deretan belakang. Di sana ada; Larie, Vabian, Fee, dan Prime. Ke-emapat
dari mereka sama- sama menghujamku dengan tatapan yang sulit ku terjemahkan
dalam keadaan seperti ini.
“Larie?” secepat cahaya bintang Larie menegang.
Rambutnya yang jatuh menutupi matanya terlihat lepek dengan keringat. Bu Dodds
melihat ke arah Larie dan aku secara bergantian. Curiga ada sesuatu yang kami
sembunyikan. Aku mengepit perutku. Sejurus rasa mules menubruk dan merusak tata
surya metabolismeku
“Bu..bukan.. bu. Bukan Larie. Saya tidak melihatnya.
Saya tidak melihat sipapun?”
Ketika tatapan menghakimi itu tidak pernah berkurang
dari teman- teman sekelasku, saat itu aku baru menyadari begitu asing mereka
bagiku. Bu Dodds melangkah lebih mendekatiku. Dalam hati aku memohon agar dia
tidak mendengar detak jantungku yang melolong dengan ritme ketakutan.
“Tidak, bukan Larie. Aku tahu. Tapi Prime”
Seisi kelas mendesah. Berbisik. Menggerutu. Atau
menyumpah. Rasanya nama Prime melonggarkan korset di perut mereka hingga mereka
terlihat lebih rileks dengan keteganganku yang menjadi- jadi. Anehnya aku tidak
mengeluarkan kata apapun ketika Bu Dodds menyebut nama Prime didepan wajahku.
Dari arah belakang Prime melihatku. Mungkin dia
menatap punggungku yang kurus, makanya aku merasa punggungku seperti meleleh
dengan bulir- bulir keringat meluncur dari tulang belakangku hingga menembus
rok sekolahku.
“Apapun urusan yang kau dan Prime miliki, tolong
jangan mangacaukan kelasku” bisikannya persis seperti desisan ular hingga
setiap vokalnya tidak terdengar jelas.
Hari itu terasa lebih panjang dari hari- hari lain yang begitu sangat
panjang bagiku. Dalam hati aku sepakat bahwa bau badanku sangat asam sekarang,
di lansir dari kelembaban seragam sekolahku yang nyaris menyatu dengan kulit
punggungku. Sesekali teman- teman sekelasku melirik dengan kesal saat kami
keluar kelas. Aku tidak mengubris, karna ini bukan yang pertama. Aku hampir
tidak pernah membuat keributan sama sekali tetapi mereka tetap buas terhadapku.
Soal Prime, aku tidak mencarinya sepanjang hari setelah insiden Bu Dodds. Aku
harus menunjukkan rasa bersalahku.
“Apa kita punya urusan?” sebuah suara muncul. Meluncur
melewati punggungku. Kupejamkan mataku sejenak berfikir apa sebaiknya aku
pingsan atau berbalik dengan keberanian baja karna aku tahu itu Prime.
Ketika aku berbalik dan kami saling berhadapan di
tengah koridor, Prime masih terlihat mengenakan jaket kulit yang tadi dipakainya.
Kalau begini aku bisa lebih jelas memindainya. Dia lebih tinggi dari yang
sering aku tebak. Rambutnya sedikit kering tapi tidak berantakan. Jari- jarinya
terlihat kasar.
“Apa aku punya urusan yang belum aku selesaikan
denganmu?”
“Setelah kupikir-pikir sepertinya tidak”
“Bagus. Karna aku tidak suka dengan urusan yang tidak
selesai”
Aku menunduk. Menatap ujung sepatuku juga
petakan-petakan lantai yang sama besar. “Aku minta maaf,” kataku. “Seharunya
aku membuat keributan lain saja tadi. Bukan keributan menyangkut dirimu”
“Jadi aku tersangkut dalam insiden tadi?”
“Tidak” jawabku tergagap.
“Tidak?”
“Bukan__maksudku, iya”
aku menunduk lagi. Merasa salah.
“Bisa kau jelaskan mengapa aku tersangkut dalam
insidenmu?”
“Tidak ada masalah besar. Kau hanya baru membuat rasa
heranku muncul hari ini. Awalnya aku tertarik dengan keping logammu” aku
melirik tangan kirinya dan logam yang kumaksud tidak ada “Setelah kupikir lama,
kau juga jarang bicara dan duduk sendirian”.
“Kau juga duduk sendirian, kita semua duduk sendirian
di kelas”
“Tidak, maksudku. Kau tidak terlihat dengan siapa-
siapa”
“Kau juga tidak”
“Iya, tapi, kau berbeda”
“Berbeda darimu itu pasti, aku laki- laki tulen.”
“Bukan__arghhh” erangan kesal itu terdengar tertahan
dalam nada yang pelan. Percuma berdebat atas prestasi menjadi terkonyol seperti
ini.
“Kau hanya tidak banyak bicara. Tidak mendominasi pada
sesuatu. Tapi juga tidak bodoh atau malas” aku menarik nafas. “Kau seperti itu.
Bukan masalah besar. Aku hanya tertarik untuk mempertanyakannya”.
Kini giliran Prime yang jatuh ke ujung sepatunya.
Seketika aku melihat dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki meleleh
seperti lilin. Pelan- pelan terlihat hal- hal yang di sembunyikannya. Seperti
buku tua yang berdebu.
“Ikut aku” seru Prime.
“Apa?”
“Kau bilang kau ingin melihatku bicara. ayo ikut aku”
Laki- laki itu berjalan di depanku. Tidak terlihat
takut atau marah. dia berjalan setenang biasanya. Dinding waktu pergi entah ke mana
dan aku bisa melihat sesuatu menggantung di kedua bahunya. Saat itu aku tahu,
dia kelelahan.
Kami melewati jalanan setapak dengan rumput- rumput
liar di pinggirnya. Aku menerka- nerka ini arah menuju hutan kecil belakang
sekolah. Aku pernah dengar kalau di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil
yang memisah antara gedung sekolah dan pemukiman penduduk kecil. Ketika
matahari terlihat merah menerpa wajah kami yang kusam, kami sampai pada sebuah
pohon yang sudah di sulap menjadi gubuk kecil yang menggantung di pucuknya.
Prime menoleh kebelakang sebelum menaiki tangga
gantung. Seperti mengatakan ‘Perhatikan langkahku, dan ikuti’. Kemudian
gilaranku. Gubuk itu tidak terlihat lebih dari apapun. Nyaris seperti sangkar
burung. Gubuknya di lengkapi jendela dan pintu mini.
Ketika pintu terbuka Prime berdiri menyamping dan
mempersilahkan aku masuk lebih dulu. pada langit langit di gantung bohlam yang
di balut dengan botol- botol minuman bekas berwarna bening. Ada tumpukan
barang- barang dan beberapa buku tua dengan cover keras. Juga ada sekitar lima
piringan hitam tersusun di samping fonograf. Juga ada sebuah gitar coklat yang
terududuk tanpa kata di sudut rumah burung ini.
Prime membuka jaketnya kemudian menggantungya pada
ranting pohon yang terpotong. Ternyata Prime punya ke dua lengan yang kuat.
Urat- uratnya tegas dan berani. Kulit area lengan terlihat lebih gelap akibat
terbakar. Juga otot perutnya yang tipis mengintip dari balik kancing seragam
sekolah. Aku masih berdiri berputar dengan pikiranku tentang Prime dan sarang burungnya.
“Duduk saja di atas tumpukan majalah itu” aku
mengikuti telunjuknya. Begitu menemui tempat yang di maksud aku langsung
mendarat dengan sangat pelan.
“Kau yang bangun?” Prime duduk di atas jendela sambil
bersandar pada sisi di belakangnya. Warna merah matahari di depan kami menerpa
wajahnya hingga membentuk siluet.
“Iya. Kenapa? keren ya?”
“Sedikit “ kataku tanpa berniat membuatnya tersenyum
seperti menarik lebar ke dua ujung bibirnya.
“Ini rumah rahasia ya? Seperti di film- film.”
“Bukan, ini rumah tempat bermimpi”
Sekali lagi aku mengitari rumah pohon yang hanya habis
dipindai tanpa harus memutar bola matamu berkali- kali. Bau dedaunan dan
ranting pohon yang terpotong menerpa kami berkali- kali. Sedang matahari terus
turun ke suatu tempat di bawah kami, kemudian, Prime menjentikkan saklar lampu
gantung di atas kepala kami. Ketika lampu menyala, keindahan sederhananya
bertambah. Membentuk sebuah rahasia yang dingin dan nyaman.
“Jadi, kenapa kau mengajakku ke sini. Kita kan bukan__
maksudku, sebelumnya belum pernah berteman” kusibakkan rambutku ke belakang dan
membentuknya menjadi gundukan tinggi di belakang kepalaku.
“Kalian semua temanku. Semua orang yang pernah bertemu
denganku adalah temanku. Karna keterbatasan kemampuanku memilih-milih, kemudian
aku mulai menjadikan semua orang menjadi temanku. Kalau seperti itu rasanya aku
tidak sendirian tanpa harus mengajak mereka bicara. Karna mereka semua berada
dalam tas ranselku”
“Jika mereka teman, seharusnya kau harus bicara”
“Untuk apa?”
“Agar kau dan mereka mengenal satu sama lain. Tanpa
bicara segala hal menjadi berjalan salah arah”
“Tidak juga. Mereka Cuma cukup duduk di suatu tempat
dan memperhatikanku. Ketika mereka ingin mempelajariku mereka akan segera
mengerti harus bagaimana. Seperti yang kau lakukan, Violet. Kau duduk dan
mengumpulkan rasa penasaranmu dalam waktu yang cukup lama. setelah kau mengerti
kita akan bertemu dan bicara. Seperti saat ini. Aku membiarkan kalian
mempelajariku, dan membiarkan kalian memilihku untuk menjadi teman bicara atau
tidak sama sekali. aku membiarkan keputusan berada di tangan kalian, bukan
ditanganku.” Prime berhenti sejenak mengumpulkan segenap udara yang masuk dari
lubang hidungnya. “Aku itu semacam buas, atau lemah, atau idiot. Jika seseorang
sudi mendekatiku, maka dia adalah teman. Karna dia melihatku dari ke tiga arah
itu”
Penjelasan panjangnya membuatku ingin duduk lebih lama
lagi. Lepaskan dulu kecemasanku tentang rumah. Toh, aku juga akan kembali ke
sana mau tidak mau. kali ini biarkan aku lepas menjadi burung atau semacamnya.
Kemudian tempat itu berubah sepi. Baik aku atau Prime
membiarkan nafas kami berhembus bergantian dalam diam.
“Kau punya mimpi?” katanya kemudian tanpa melihatku.
“Bagaimana denganmu?” balasku dengan pertanyaan baru.
Dari sana Prime menoleh ke arahku. Setelah menimbang
sesuatu dalam kepalanya kemudian dia bangkit dan mengambil sesuatu dalam karung
tumpukan barang. Tidak lama Prime kembali dengan lembaran kartu di tangannya.
Awalnya aku pikir kami akan bermain kartu, karna jujur aku tidak paham dengan
permainan apapun menyangkut kartu.
Prime duduk kembali di tempat semula. Tanpa memerintah
apapun padaku dia mulai memutar- mutar kartu di kedua tangannya, hingga kartu
bertukar- tukar gambar. Dari Queen menjadi King, kemudian Hati menjadi Wajik.
Kartu terus berputar- putar di kedua tangannya. Bermain di antara sela- sela
jarinya, kadang terlihat melompat dari satu jari ke jari lainnya. Seperti dia
merapalkan sebuah mantra dan kartu- kartu itu mengikuti kehendaknya. Sampai
ketika aku benar- benar terlena dengan permainan tangannya, dia berhenti,
terdengar sebuah jentikan dan sebuah kartu As Hati muncul di depan hidungku.
Hanya sebuah kartu.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku. “Kemana
perginya kartu yang lain?” aku menunjuk- nunjuk dengan telunjuk yang
menggantung diantara udara kosong yang memisahkan kami. Prime hanya menarik
sebelah ujung bibirnya, hingga senyumnya terlihat miring dan tidak seimbang.
“Perhatikan” serunya. Kemudian selembar kartu As yang
tadi di pegangnya di lempar ke udara. Kami berdua menangah mengikuti gerak
kartu itu yang melayang dan menantinya turun bersama tarikan gravitasi. Namun
ketika aku berharap selembar kartu yang jatuh kalah di depanku, berlembar-
lembar kartu turun menghujaniku dan berserakan di lantai kayu.
“Apa? Tidak mungkin.”
“Mungkin” katanya girang, dan aku bisa merasakan
setiap kerenyahan dari nada suaranya.
Untuk beberapa saat kami tertawa. Aku yang tidak
percaya dia bisa melakukan itu dan Prime yang tidak percaya dia menunjukkan itu
padaku. “Sudah kubilang, di sini tempat kau bermimpi”.
“Jadi kau susah- susah membuat sangkar begini hanya
untuk bermain trik semacam itu?”
Prime mengangguk .“Setelah Ayahku membakar semua
kartu- karut milikku. Juga beberapa barang lain yang aku punya untuk bermain
trik, aku membangun tempat ini” ketika dia berkata begitu, aku merasakan
segenap suara patahan menyergapku malam itu. Patahan dari dalam dirinya. Prime
memungut selembar kartu clover, kemudian memainkannya.
“Setelah ayahku tahu aku menyukai ini, dia membakar
semua barang- barangku tanpa sisa. Melucuti segala sesuatu yang mendefinisikan
diriku. Aku tidak tahu dia marah atau kecewa saat itu. Dia hanya terlihat
begitu murka.”
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba-
tiba suara patahan tadi terdengar lagi, kali ini dari dalam diriku. Suara
patahan yang sama nyaringnya seperti milik Prime tadi. Aku bungkam dan
membiarkan Prime menceritakan ceritanya pelan-pelan sampai habis jika dia mau.
“Aku mengerti, ayahku hanya orang biasa yang tidak
biasa hidup dalam kekonyolan seperti permainan trik. Dalam kamusnya, hidup itu
tidak semudah trik yang aku mainkan”
“Jadi karna itu kau membangun rumah pohon?”
Prime tersenyum kemudian menoleh ke arahku. “Setelah
kupikir-pikir ada bagusnya jika aku membangun tempat ini. tempat dimana aku
bisa menuang mimpiku dan menyimpannya di dalam kardus- kardus. Karna aku tahu,
suatu hari aku akan kehilangan diriku yang sebenarnya. Dan setidaknya jika aku
punya rumah pohon, aku bisa mengenang diriku sesekali ketika aku sudah tua dan
berperut buncit. Dengan begitu aku tidak menjalani hidup dengan rasa penyesalan
yang penuh.”
“Kalau begitu aku tidak salah masuk ke sini” Prime
manarik nafas ketika memperhatianku bicara, dan ketika dia menarik nafas
dadanya yang bidang menggembung di balik seragam sekolah. “Kalau boleh aku juga
ingin menanam mimpiku di sini, supaya waktu tua aku tidak terlalu menyesal juga”
kataku dengan air yang mulai menggenang di pelupukku.
“Kau bisa menanam mimpi apa saja di sini, Violet.
Ceritakan padaku “
Sebelum mulai, aku menekuri lantai kayu, alasanya
hanya untuk mengalihkan pandangan Prime yang langsung menuju bola mataku yang
kebanjiran. Aku tidak mau menangis di depan teman sekelas yang baru berbicara
hari ini denganku.
“Ayahku merusak gitar satu- satunya yang kumiliki
beberapa waktu lalu. Aku beli dengan hasil bekerja sebagai tukang dapur di
kedai kopi. Gitarnya di banting beberapa kali di lantai kemudian di ayunkan menghantam
tembok. Keadaannya rusak parah, walaupun aku sudah mencoba berkali- kali
memperbaikinya. Sudah hancur. Tidak ada yang bisa di perbaiki walaupun di beri
lem.”
“Rusak parah ya?”
“Banget”
“Kau ingin menjadi pemain gitar? Kau pandai main
gitar?”
“Tidak begitu, hanya bisa memainkan nada- nada dasar.
Aku beli karna aku ingin ada yang menemaniku ketika aku bernyanyi. Agar aku
tidak sendiri. Boleh dibilang, aku suka bernyanyi. Tapi suaraku tidak bagus.”
“………………….”
“Ayahku bilang, semua musisi berakhir dalam umur yang singkat. Semua
pemain seni hanya hidup hancur- hancuran. Pemain seni orang paling rusak dan
tidak bisa diharapkan. Dia sering cerita kalau saat masa mudanya dulu banyak
anak band yang mati karna over dosis. Katanya, Whitney
Houston juga mati karna obat. “
“……………….”
“Ketika semuanya dilucuti dari kita, apa yang akan tersisa untuk kita
nanti? Apa kita kan menjadi sesuatu yang baru? menjadi sesuatu yang akan
membuat kita menjerit kaget setiap bercermin.”
“Membuat kita menjadi suatu cerita tanpa titik.” Ujar Prime dalam nada
yang pelan. “Ketika semuanya di tulis ulang dengan bolpoin yang bukan milik
kita maka kita sulit menemukan dimana kita seharusnya memberi titik. Cerita
berubah menjadi hal yang tidak cukup bagi kita karna kita tidak menemukan
apapun tentang diri kita sebenarnya, maka kita tidak akan mengizinkan titik
mengakhiri semuanya. Apabila kita menyerah untuk memunculkan titik, maka cerita
selesai. Buku di jual atau di simpan. Dengan demikian cerita bohong itu
mendefinisikan kita selamanya di dunia.”
Prime bangkit. Kemudian meraih gitar yang duduk diam sedari tadi. Dia
meniup debu tipis di atas gitar kemudian duduk di atas lantai kayu di
hadapanku. “Tiba- tiba saja aku ingin bernyanyi” dia tersenyum simpul. Prime
memetik senar dengan irama pelan dan tenang. Kemudian dia merapalkan kata- kata
yang begitu pelan dari bibirnya.
“When I counted up my demons
Saw there was one for every day
With the good ones on my shoulder
I drove the other ones away”
Dalam hati aku hanya mengikuti beberapa bait yang aku tahu. Kalau aku
tidak salah lagu itu berjudul Everything’s
Not Lost. Prime memetik senarnya dengan mata terpejam dan bibir yang
bergerak- gerak pelan. Dari sini, ketika dia terpejam seperti yang sering dilakuakannya
dalam kelas, kerutan- kerutan lelah terlihat begitu jelas di ujung-ujung
matanya.
“Prime, apa kau akan mengakhirinya dengan titik suatu saat?”
“Tidak, aku akan membiarkan ceritaku tanpa titik. Aku tidak akan
membiarkan cerita bohong mendefinisikanku sampai habis.”
“Kalau begitu kita membiarkan mimpi- mimpi kita bersama lampu- lampu
gantung, buku-buku tua, juga piringan hitam di rumah pohon ini?”
“Iya.”
“Ok.”