Minggu, 06 September 2015

Harga Mati


Kau tahu, aku pernah bodoh sekali berfikir membuang semuanya, maksudku, membuang semua yang mungkin hampir mendefinisikan keseluruhan diriku yang kecil. Yeah, seperti yang (mungkin) kau ketauhi tentangku; menulis dan bernyanyi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar sampai kapanpun. Kemudian, suatu hari(saat usiaku remaja, sekarang aku sudah dewasa, kata ibuku begitu) aku pernah ingin bertukar ‘Harga Mati’ku itu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terus- terusan keluar dari mulut jorok mereka, mengadopsi sebuah organisme baru yang bisa menginvasikan diriku. Mulut jorok mereka tidak habis- habisnya mengoceh bilang bahwa ini bisa membuatku jadi seorang Putri sungguhan.
Mungkin karena penolakan yang mereka berikan berkali- kali membuat pemikiran hina semacam itu muncul dalam kepalaku. Setelah dewasa aku baru megerti bahawa mereka itu orang tolol dengan sejumlah penolakan tolol yang mereka berikan padaku.
Suatu ketika, saat aku sedang duduk di teras rumah sambil membaca komik- komik yang di pinjam pamanku di suatu tempat yang aku tidak tahu di mana (omong-omong pamanku itu termasuk orang yang meracuniku dengan kegiatan membaca setelah ayahku) ibuku keluar, duduk si sampingku sambil kipas- kipas. Dia tanya apa yang sedang kubaca, kemudian kujawab bahwa aku sedang membaca komik gratis yang kucuri dari rak pamanku. Ibuku sempat melotot, yah, tahu saja lah, peraturan di rumah kami itu ketat seklai tentang ini- itu.
Sebenarnya saat itu dalam kepalaku sedang terjadi keributan ini- itu. Semua anggota dewan tengah melakukan rapat paripurna tentang ‘Harga Mati’ yang akan kutukar sebentar lagi. Makanya, aku baca komik paman sampai mataku mampus. Ibuku terus kipas- kipas dan kemudian bertanya, “Kenapa kau suka baca buku sih?”. Ku jawab “Gara- gara ayah.”  Sebenarnya tidak sepenuhnya ayah, ibuku juga jadi orang yang bertanggung jawab atas racun- meracuni ini. Ibu dan ayahku selalu bergerak bersama mendidik kami dengan kemampuan seadanya ketika ‘Depresi Besar’.
Ibu: kau tidak capek duduk lama dan baca?
Aku: yah, kadang bokongku sakit sih, tapi bisa tiduran sambil membaca.
Ibu: ayahmu dari dulu suka membaca, dia bilang, dia berhenti sekolah dini sekali karna suatu hal. Tapi setiap kali menemukan buku, dimanapun; di jalan, tong sampah, loakan, pabrik-pabrik, dia selalu menyelamatkannya dan di bawa pulang kerumah buat di baca. Katanya, belajar itu bisa dilakukan dimana saja asal punya kemauan.
Aku: ibu tidak suka baca?
Ibu: suka, waktu muda, aku dan ayahmu sering beli buku- buku bekas, yah walaupun jenis bacaan kami berbeda sih. Dan kemudian sirkulasi kehidupan kami berubah dan kami mulai kurang baca.
Aku: kenapa ibu tidak pernah baca buku lagi sekarang? Bersama aku. kita bisa pinjam buku atau beli yang bekas saja.
Ibu: tidak. aku tidak ingin baca buku apapun sebelum membaca buku pertamamu.
Itu semacam fenomena yang membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, dan aku tertabrak truk, terlontar ke langit kemudian terhempas di atas tanah. Hatiku hancur seketika, aku ingin menangis, tapi tidak kulakukan di depan ibu. Aku tidak percaya bagaimana bisa aku bodoh sekali selama ini. Ibu mencintai ‘Harga Mati’ku dan aku malah ingin menukarnya dengan omongan jorok mereka. bagaimana bisa aku mengkhianati cinta satu orang yang mencintaiku dalam bentuk apapun demi merebut hati ribuan orang yang tidak bisa mencintaiku seperti adanya.
Sejak hari itu aku membuat perjanjian dalam kepalaku. Memastikan semua anggota rapat paripurna mencatatnya untukku (kalau- kalau aku terserang omongan jorok lagi di masa mendatang, jadi aku punya bukti bahwa aku pernah berucap janji)  bahwa aku tidak akan menukar ‘Harga Mati’ku dengan apapun.  

Usiaku 21 sekarang. Sudah semakin pendek dari masa kontrak yang diberikan. Sebentar lagi aku akan menulis sebuah tulisan ilmiahku sendiri dan menadapatkan gelar Sarjana Humaniora. Sekarang, ketika kadang- kadang sedang duduk mengerjakan ini-itu aku suka termenunng dan memikirkan cerita lalu. Kalau saja rapat paripurnaku mengambil langkah salah, mungkin aku tidak sedang di sini sekarang. Tidak ada ‘Harga Mati’ apapun yang duduk di sebelahku setiap kali di dalam bus.
Omongan  jorok semakin banyak saja saban hari. Melelahkan memang. Tapi setiap kali ingin jatuh tenggelam di samudra pasifik, aku selalu teringat percakapan ibu. Cuma itu satu- satunya alasan untuk terus jalan di atas omongan  jorok  yang lengket dan menempel di sol sepatuku (susah sekali di cuci).

Mereka hampir membuatku membunuh diriku sendiri dulu, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post