Rabu, 25 Desember 2019

REVIEW FILM THE HOWS OF US



“Aku akan menjadi wanita bodoh jika mengikuti hatiku, dan aku tidak akan pernah bahagia jika mengikuti kepalaku.”

Film Romantis asal Filipina ini di buka dengan narasi kedua pemeran utama yang mengatur rumah impian mereka bersama. George (Kathryn Bernardo) dan Primo (Daniel Padilla) merupakan sepasang kekasih yang memulai kisah cinta mereka dari pertemuan mereka didebat sekolah tentang sebagaiman pentingnya peran lelaki dan wanita. Pertemuan mereka dibuka dengan adu argument hebat yang saling membela martabat gendernya masing – masing, tanpa disadari banyak hal yang mereka sukai satu – sama lain.

Primo yang begitu cinta terhadap musik jatuh hati kepada George mahasiswi kedokteran yang berjuang menempuh pendidikannya. Setelah memutuskan untuk tidak ikut bersama keluarganya yang tinggal di Itali, Primo tumbuh menjadi musis ambisius yang selalu percaya bahwa musik dapat membawa kesuksesan baginya, dan George tumbuh menjadi wanita yang selalu berusaha menjadi seorang dokter. Dunia mereka berputar bersebelahan namun tidak pernah saling sadar jika mereka memberatkan satu sisi saja.
Geroge mencintai Primo sepenuhnya, gadis itu membiarkan Primo mengosumsinya, berputar untuk dunia Primo dan memilih berhenti untuk berputar di porosnya sendiri. Begitu juga Primo yang mencitai George dengan sepenuh hati, namun dia hanya tidak pernah mencoba hidup dalam dunia George.
Ke-egoisan Primo terhadap kehidupan membuat dirinya tersiksa dan tanpa dia sadari juga menyiksa wanita yang dicintainya. Primo menolak untuk berfikir dewasa dan mengenyampingkan mimpinya untuk menjadi musisi, menolak untuk berfikir lebih realistis bahwa musik belum mampu memberinya kehidupan yang layak. Primo selalu saja bangun pagi, bernafas menjadi pria yang selalu mengantongi ambisi dan ke-egoisannya sendiri, sedang George berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi kehidupan mereka. Berdiri disisi Primo dan bertarung untuk pria yang dicintainya meski dia tahu.

The hows of us becerita tentang kisah cinta yang begitu kuat meresap di dalam dua manusia yang saling bertarung didalam dunianya. Memag benar jika tidak seharusnya kita mencintai sepenuhnya sendirian, seharusnya kita harus mencintai dengan kadar yang sama secara bersama – sama, denan begitu kita akan merasakan hidup bersama – sama dalam ‘Perasaan Cinta’ itu sendiri. Primo bukan cinta yang toxic, hanya saja ambisinya dan ego terkadang membuatnya lupa untuk buka mata kepada kehidupan sekitar yang sangat luas. Dia selalu sibuk dengan ambisinya sendiri tanpa menyadari bahwa ambisi tersebut memakan dirinya dan orang – orang yang dia cintai.
Keputusannya untuk meninggalkan George dan kembali setelah 2 tahun, membuatnay belajar banyak hal. Belajar bahwa kesombongan mengantongi ambisi kosong membuatnya mati terkuras oleh mimpi kosong tak berlandasan. Keputusannya untuk pergi juga membuatnya sadar bahwa George sudah bertahan begitu keras mendampinginya, sehingga iya kehilangan George secara fisik namun tetap memiliki Geroge secara emosional.
Kisah keduanya mencari kembali jalan untuk kembali membuat kita sadar bahwa selalu ada kesempatan kedua dalam hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post