Berawal dari keterpurukannya terhadap penyakit yang tertular dair suaminya, Gin yang kemudian
mengganti namanya menjadi Ginko pulang ke rumah orang tuannya di Tawarase.
Kepulangannya yang seorang diri dengan berjalan kaki sambil membawa buntelan
persis orang yang angkat kaki dari rumah itu membawa pergunjingan di antara
para tetangga. Alih – alih memperdulikan gunjingan tetangga, Ginko pulang
dengan tubuh yang melemah dan tak berdaya.
Di usi ke – 16 tahunnya, Ginko di nikahkan dengan
seorang anak dari keluarga petani
kaya yang sama bermartabat seperti keluarganya sendiri. Konichiro, begitulah
nama pria yang menikahinya dan kemudian menularkan penyakit kelamin yang pada
saat itu merupakan penyakit aib yang sangat memalukan, dan bisanya banyak
tertular di kalangan pelacur.
Menghadapi kehidupan yang sudah dihancurkan mentah –
mentah, Ginko mengajukan permohonan cerai. Dia tidak sudi kembali bersama
Konichiro ataupun bersama lelaki lainnya. Baginya semua lelaki sama saja, haus
tubuh wanita untuk kesenangan semata. Lantas Ginko begitu terpuruk dengan
kehidupannya yang telah hancur total, karna menurut diagnosa tabib dia tidak
akan mampu memberikan keturunan. Seorang wanita yang tak mampu memberikan
keturunan maka sudah tidak ada lagi guna hidupnya.
Namun, tidak berlama – lama terpuruk Ginko malah
terpikir untuk belajar, sebelum menikah ia sering ikut mendengarkan pelajaran –
pelajaran yang diberikan seorang guru kepada kedua orang kakak laki – lakinya.
Lantas, Ginko terpikir untuk kembali belajar. Karna belajar akan membuatnya berguna kembali. Ginko kemudian kembali
mulai melakukan rutinitas
dulu, dengan membaca sastra kuno China dan buku – buku lainnya.
Namun, ketika penyakitnya semakin parah dia di rujuk
kerumah sakit Tokyo. Saat itu era Meiji, rumah sakit yang ada juga sangat
terbatas, dan semua dokter hanya berasal
dari pihak laki – laki. Lalu, bagaimana perasaan seorang Ginko yag saat itu
memiliki penyakit kelamin dan di tangani oleh dokter laki – laki? Ginko merasa
marah, malu , dan sedih. Dia merasa begitu hancur dan malu, ketika penyakit
sialan itu membuat seorang lelaki dengan bebas melihat bagian pribadi yang
dimilikinya. Satu tahun menjalani perwatn di Tokyo, membuat Ginko memiliki
tekad untuk menjadi seorang dokter perempuan, dokter perempuan yang dapat
membantu para wanita yang terserang penyakit sepertinya atau penaykit –
penyakit lainnya yang tidak pantas di tangani oleh para lelaki.
Perawatannya satu tahun di Tokyo hanya
untuk membantu
menonaktifkan penyakit tersebut, namun hasilnnya tetap
sama, Ginko tetap tidak mampu memberikan keturunan, karna virus penyakit
kelamin tersebut
telah mengrogoti bagian rahim dan uretranya. Kembali ke kampung halaman Ginko
menyampaika niatannya untuk menjadi seorang Dokter. Namun, pada masa itu
kebudayaan Jepang menempatkan wanita jauh di bawah segalanya, wanita tidak pantas belajar apalagi menginginkan profesi yang
di geluti oleh para laki – laki. Perempuan hanya di takdiran menikah dan
kemudian malayani suami dan mengayomi anak – anaknya kelak. Namun, Ginko bukan
wanita kebanyakan, penyakitnya telah membakar amarahnya dan dia tidak ingin
menjadi wanita yang hidup berdasarkan
konsep
pemikiran pada umumnya.
Tidak dapat berkata apa – apa, kemudian ibunya, Kayo,
mengizinkannya menempuh pendidikan dokter ke Tokyo. Sekalipun dia akan menjadi
pembicaraan orang satu kampung dan bahkan di coret dari daftar keluarga yang
akan berakibat pada penerimaan harta warisan, Ginko tetap kuat pada
pendiriannya. Maka pergilah dia ke Tokyo untuk menempuh pendidikan kedokteran
yang penuh dengan rintangan dan cobaan, karna saat itu dialah satu – satunya
wanita yang menempuh
pendidikan dan bersaing bersama para lelaki.
Pelajaran yang dapat kita ambil dari seorang Ginko
adalah keteguhan dirinya dalam menannggapi musibah yang menimpanya. Menjadi
wanita yan hidup dengan penyakit kelamin lantas tidak membuatnya ikut – ikutan
mengutk diri dan menyerah untuk kembali
menjalani hidup yang lebih berguna. Ginko malah menjadikan penyakit tersebut
menjadi titik balik kedewasaannya, menjadikannya cambuk untuk tumbuh menjadi
pribadi baru yang lebih berguna. Kenyataan bahwa penyakit kelamin yang memakan
habis rahimnyalah yang menjadi cambuk penyemangatnya untuk terus belajar dan
berusaha menjadi seorang dokter.
Melawan arus dari pemikiran pada umumnya, membuatnya Ginko terus terpacu untuk merubah prespekif
pemikiran masyarakat Jepang terhadap
wanita dengan kesuksesan yang di torehkannya. Dia bahkan salah satu alasan, pemerintah
merubah beberap undang – undang yang berkaitan dengan Wanita pada era Meiji.
Jika dapat disandingkan, di Indonesia kita punya Kartini untuk hal ini. pembela
hak – hak wanita yag kemudian mampu mengecam pendidikan dan dapat bersandin
sejajar dengan para lelaki.
Kerja keras Ginko dalam menggapai gelar dokternya yang
membuat pembaca akan terkagum. Dia persis seperti sifat dasar para orang Jepang
yang tidak akan mudah menyerah pada mimpi. Tokoh – tokoh Jepang yang dikenal
punya nilai juang tinggi
salah satu diantaranya adalah Soichiro Honda, pencetus mesin Honda pertama kali. Honda di kenal sebagai
pribadi yang berjuang keras untuk mengujutkan mimpinya, bakan ketika dia gagal berkali – kali dia tidak
pernah berfikir untuk menyerah
sekalipun.
Sifat – sifat seperti ini yang hilang dari banyak pribadi
manusia dewasa ini. Genarasi yang ingin semuanya terjadi secara instan sehingga
mengenyampingkan sebuah proses. Pribadi yang mudah menyerah dan kemudian
mengeluhkan hal ini – itu. membaca buku – buku dengan latar belakang semangat juang menggapai ciata – cita dapat menjadi salah satu cara
memperbaiki sifat – sifat yang malai melenceng dalam pribadi kita masing –
masing. Pada dasarnya, buku sudah menyandang sebuatan gudang ilmu,jadi tidak
heran jika bagi orang – orang yang suka membaca selalu saja mendapat bekal hidup setiap kali mereka membuka buku.
Namun, kesempurnaan sosok Ginko dalam novel ini tetap
memunculkan pro dan
kontra dalma benakku pribadi. Ak
begitu mengagumi sosoknya yang penuh kerja keras dalam hal belajar, pribadinya
yang mampu merubah sebuah keterpurukan menjadi titik balik untuk bangkit kembali. Tapi pandangannya terhadap kamu laki – laki
yang kemudian membuatku kontra terhadap Ginko. Dari jalan hidupnya, saya paham betul bagaimana
rasanya menjadi wanita yang tidak sempurna dikarenakan oleh seorang yang dinikahinya sendiri, rasa terkhianati
yang begitu mendalam sudah pasti dirasakannya, tapi pandangannya terhadap
setiap lelaki membuat dia menggeser sisi kewanitaan dan kemanusian bahwa kita di ciptakan berpasangan, manusia dewasa yang normal pastilah
membutuhkan lawan jenis untuk kepentingan biologisnya. Dan, tidak seharusnya
kita memukul rata suatu kelompok hanya karna salah satu dari mereka memberi setitik nila. Itu
tidak adil.
Kebenciananya terhadap mantan suaminya, membuat dia
memberi benteng untuk tidak akan luluh pada setiap lelaki,
lagi pula kenyataan bahwa dia tidak dapat memberi keturuan dan masih berpotensi
menularkan penyakit kelamin yang di deritanya semakin memperkuat dirinya unuk
tidaka akan berhubunan dengan lelaki manapun.
Ketika bekerja menjadi seorang penjaga asrama wanita, Ginko pernah mengurung
seorang murid wanita karna pulang malam karna berkencan dengan seorang pria.
Ginko mengurung anak tersebut dan menyuruhnya merenung atas kesalahan besar
yang sdah dilakukannya. Ginko beranggapan lelaki hanyalah ingin menikmati tubuh
wanita, jadi
hanya sebuah kesia – kesiaan belaka jika murid wanita tersebut
memiliki hubungan dengan seorang pria. Walaupun di
satu sisi ada benarnya, namun memberi penilaian sepihak pada pria yang bahkan
belum pernah di temuinya adalah hal yang kurang adil menurutku.
Dan, yang kedua adalah. Sifatnya yang tegas dan tidak
dapat mentoleril setiap kesalahan para suster yang berada di bawah bimbingannya. Lagi, di satu sisi hal tersebut sangat baik, namun pada bagian ini Ginko seolah
memindahkan sifat manusia murni yang tidak semuanya sama sempurna, dan tidak
semua manusia mampu menyerap suatu hal dengan
kekuatan otak yang sama. Sifat tegasnya didasari oleh
ketelitian dirinya ketika belajar dan latar belakang keluarganya yang terhormat
sehingga dia lebih berpendidikan dari yang lain,
dan dikarenakan ketelitiannya dia tidak pernah melakukan kesalahan ketika
menjadi pelajar dulu. Statement tersebut sedikit memuncul kesan
agois dan sombong
Karna, toh pada akhirnya, dia juga melakukan kesalahn.
Di kembali menjadi seorang wanita yang akhirnya jatuh hati kepada Shikata dan
menikahi bujangan 13 tahun lebih muda itu pada ketika
usianya hampir menginjak 40-an. Ginko
bahakn sempat menutup kliniknya demi mengikuti Shikata mengujudkan mimpinya
membangun kelompok misionaris penyebaran agama Kristen di Hokaido. Mengingat
perjuangannya untuk menjadi dokter yang begitu panjang, dia bisa begitu saja
meninggalkan karir yang sudah di bangunnya dari nol. Nah, dari situ saja kita
dapat menyadari bahwa kita tidak bisa memindahkan sifat natural manusia yang
memang ada dalam diri kirta. Kita tidak bisa me-remove
hawa nafasu ketertarikan terhadap lawan jenis
dalam diri kita (in case when we still
normal human being), kita tidak
bisa menjamin bahwa otak kita bisa bekerja sempurna
setiap saat seperti yang kita harapkan, setiap manusia akan jatuh cinta, setiap
dari kita akan melakuakn hal – hal ceroboh dalam hidup.
Tapi, terlepas dari itu semua, buku ini adalah buku
yang layak di masukkan ke dalam list bacaan tahun ini. Pesan – pesan yang
dikandungnya dapat memberimu berfikir dan mengoreksi diri. Dari semangat Ginko
kita dapat
bealajar menjadi
individu yang lebih baik lagi.