Jumat, 05 Mei 2017

REVIEW GINKO KARYA JUN’ICHI WATANABE


Berawal dari keterpurukannya terhadap penyakit yang tertular dair suaminya, Gin yang kemudian mengganti namanya menjadi Ginko pulang ke rumah orang tuannya di Tawarase. Kepulangannya yang seorang diri dengan berjalan kaki sambil membawa buntelan persis orang yang angkat kaki dari rumah itu membawa pergunjingan di antara para tetangga. Alih – alih memperdulikan gunjingan tetangga, Ginko pulang dengan tubuh yang melemah dan tak berdaya.
Di usi ke – 16 tahunnya, Ginko di nikahkan dengan seorang anak dari  keluarga petani kaya yang sama bermartabat seperti keluarganya sendiri. Konichiro, begitulah nama pria yang menikahinya dan kemudian menularkan penyakit kelamin yang pada saat itu merupakan penyakit aib yang sangat memalukan, dan bisanya banyak tertular di kalangan pelacur.
Menghadapi kehidupan yang sudah dihancurkan mentah – mentah, Ginko mengajukan permohonan cerai. Dia tidak sudi kembali bersama Konichiro ataupun bersama lelaki lainnya. Baginya semua lelaki sama saja, haus tubuh wanita untuk kesenangan semata. Lantas Ginko begitu terpuruk dengan kehidupannya yang telah hancur total, karna menurut diagnosa tabib dia tidak akan mampu memberikan keturunan. Seorang wanita yang tak mampu memberikan keturunan maka sudah tidak ada lagi guna hidupnya.
Namun, tidak berlama – lama terpuruk Ginko malah terpikir untuk belajar, sebelum menikah ia sering ikut mendengarkan pelajaran – pelajaran yang diberikan seorang guru kepada kedua orang kakak laki – lakinya. Lantas, Ginko terpikir untuk kembali belajar. Karna belajar akan membuatnya berguna kembali. Ginko kemudian kembali mulai melakukan rutinitas dulu, dengan membaca sastra kuno China dan buku – buku lainnya.
Namun, ketika penyakitnya semakin parah dia di rujuk kerumah sakit Tokyo. Saat itu era Meiji, rumah sakit yang ada juga sangat terbatas, dan semua dokter  hanya berasal dari pihak laki – laki. Lalu, bagaimana perasaan seorang Ginko yag saat itu memiliki penyakit kelamin dan di tangani oleh dokter laki – laki? Ginko merasa marah, malu , dan sedih. Dia merasa begitu hancur dan malu, ketika penyakit sialan itu membuat seorang lelaki dengan bebas melihat bagian pribadi yang dimilikinya. Satu tahun menjalani perwatn di Tokyo, membuat Ginko memiliki tekad untuk menjadi seorang dokter perempuan, dokter perempuan yang dapat membantu para wanita yang terserang penyakit sepertinya atau penaykit – penyakit lainnya yang tidak pantas di tangani oleh para lelaki.
Perawatannya satu tahun di Tokyo hanya untuk  membantu menonaktifkan penyakit tersebut, namun hasilnnya tetap sama, Ginko tetap tidak mampu memberikan keturunan, karna virus penyakit kelamin tersebut telah mengrogoti bagian rahim dan uretranya. Kembali ke kampung halaman Ginko menyampaika niatannya untuk menjadi seorang Dokter. Namun, pada masa itu kebudayaan Jepang menempatkan wanita jauh di bawah segalanya, wanita tidak pantas belajar apalagi menginginkan profesi yang di geluti oleh para laki – laki. Perempuan hanya di takdiran menikah dan kemudian malayani suami dan mengayomi anak – anaknya kelak. Namun, Ginko bukan wanita kebanyakan, penyakitnya telah membakar amarahnya dan dia tidak ingin menjadi wanita yang hidup berdasarkan  konsep pemikiran pada umumnya.
Tidak dapat berkata apa – apa, kemudian ibunya, Kayo, mengizinkannya menempuh pendidikan dokter ke Tokyo. Sekalipun dia akan menjadi pembicaraan orang satu kampung dan bahkan di coret dari daftar keluarga yang akan berakibat pada penerimaan harta warisan, Ginko tetap kuat pada pendiriannya. Maka pergilah dia ke Tokyo untuk menempuh pendidikan kedokteran yang penuh dengan rintangan dan cobaan, karna saat itu dialah satu – satunya wanita yang menempuh pendidikan dan bersaing bersama para lelaki.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari seorang Ginko adalah keteguhan dirinya dalam menannggapi musibah yang menimpanya. Menjadi wanita yan hidup dengan penyakit kelamin lantas tidak membuatnya ikut – ikutan mengutk diri dan  menyerah untuk kembali menjalani hidup yang lebih berguna. Ginko malah menjadikan penyakit tersebut menjadi titik balik kedewasaannya, menjadikannya cambuk untuk tumbuh menjadi pribadi baru yang lebih berguna. Kenyataan bahwa penyakit kelamin yang memakan habis rahimnyalah yang menjadi cambuk penyemangatnya untuk terus belajar dan berusaha menjadi seorang dokter.
Melawan arus dari pemikiran pada umumnya, membuatnya Ginko terus terpacu untuk merubah prespekif pemikiran masyarakat  Jepang terhadap wanita dengan kesuksesan yang di torehkannya. Dia bahkan salah satu alasan, pemerintah merubah beberap undang – undang yang berkaitan dengan Wanita pada era Meiji. Jika dapat disandingkan, di Indonesia kita punya Kartini untuk hal ini. pembela hak – hak wanita yag kemudian mampu mengecam pendidikan dan dapat bersandin sejajar dengan para lelaki.
Kerja keras Ginko dalam menggapai gelar dokternya yang membuat pembaca akan terkagum. Dia persis seperti sifat dasar para orang Jepang yang tidak akan mudah menyerah pada mimpi. Tokoh – tokoh Jepang yang dikenal punya nilai juang tinggi salah satu diantaranya adalah Soichiro Honda, pencetus mesin Honda pertama kali. Honda di kenal sebagai pribadi yang berjuang keras untuk mengujutkan mimpinya, bakan ketika dia gagal berkali – kali dia tidak pernah  berfikir untuk menyerah sekalipun.
Sifat – sifat seperti ini yang hilang dari banyak pribadi manusia dewasa ini. Genarasi yang ingin semuanya terjadi secara instan sehingga mengenyampingkan sebuah proses. Pribadi yang mudah menyerah dan kemudian mengeluhkan hal ini – itu. membaca buku – buku dengan latar belakang semangat juang menggapai ciata – cita dapat menjadi salah satu cara memperbaiki sifat – sifat yang malai melenceng dalam pribadi kita masing – masing. Pada dasarnya, buku sudah menyandang sebuatan gudang ilmu,jadi tidak heran jika bagi orang – orang yang suka membaca selalu saja mendapat bekal hidup setiap kali mereka membuka buku.
Namun, kesempurnaan sosok Ginko dalam novel ini tetap memunculkan pro dan kontra dalma benakku pribadi. Ak begitu mengagumi sosoknya yang penuh kerja keras dalam hal belajar, pribadinya yang mampu merubah sebuah keterpurukan menjadi titik balik untuk bangkit kembali.  Tapi pandangannya terhadap kamu laki – laki yang kemudian membuatku kontra terhadap Ginko. Dari jalan hidupnya, saya paham betul bagaimana rasanya menjadi wanita yang tidak sempurna dikarenakan oleh seorang yang dinikahinya sendiri, rasa terkhianati yang begitu mendalam sudah pasti dirasakannya, tapi pandangannya terhadap setiap lelaki membuat dia menggeser sisi kewanitaan  dan kemanusian bahwa kita di ciptakan berpasangan, manusia dewasa yang normal pastilah membutuhkan lawan jenis untuk kepentingan biologisnya. Dan, tidak seharusnya kita memukul rata suatu kelompok hanya karna salah satu dari mereka memberi setitik nila. Itu tidak adil.
Kebenciananya terhadap mantan suaminya, membuat dia memberi benteng untuk tidak akan luluh pada setiap lelaki, lagi pula kenyataan bahwa dia tidak dapat memberi keturuan dan masih berpotensi menularkan penyakit kelamin yang di deritanya semakin memperkuat dirinya unuk tidaka akan berhubunan dengan lelaki manapun. Ketika bekerja menjadi seorang penjaga asrama wanita, Ginko pernah mengurung seorang murid wanita karna pulang malam karna berkencan dengan seorang pria. Ginko mengurung anak tersebut dan menyuruhnya merenung atas kesalahan besar yang sdah dilakukannya. Ginko beranggapan lelaki hanyalah ingin menikmati tubuh wanita,  jadi hanya sebuah kesia – kesiaan belaka jika murid wanita tersebut memiliki hubungan dengan seorang pria. Walaupun di satu sisi ada benarnya, namun memberi penilaian sepihak pada pria yang bahkan belum pernah di temuinya adalah hal yang kurang adil menurutku.
Dan, yang kedua adalah. Sifatnya yang tegas dan tidak dapat mentoleril setiap kesalahan para suster yang berada di bawah bimbingannya. Lagi, di satu sisi hal tersebut sangat baik, namun pada bagian ini Ginko seolah memindahkan sifat manusia murni yang tidak semuanya sama sempurna, dan tidak semua manusia mampu menyerap suatu hal dengan kekuatan otak yang sama. Sifat tegasnya didasari oleh ketelitian dirinya ketika belajar dan latar belakang keluarganya yang terhormat sehingga dia lebih berpendidikan dari yang lain, dan dikarenakan ketelitiannya dia tidak pernah melakukan kesalahan ketika menjadi  pelajar dulu. Statement tersebut sedikit memuncul kesan agois dan sombong
Karna, toh pada akhirnya, dia juga melakukan kesalahn. Di kembali menjadi seorang wanita yang akhirnya jatuh hati kepada Shikata dan menikahi bujangan 13 tahun lebih muda itu pada ketika usianya hampir menginjak 40-an. Ginko bahakn sempat menutup kliniknya demi mengikuti Shikata mengujudkan mimpinya membangun kelompok misionaris penyebaran agama Kristen di Hokaido. Mengingat perjuangannya untuk menjadi dokter yang begitu panjang, dia bisa begitu saja meninggalkan karir yang sudah di bangunnya dari nol. Nah, dari situ saja kita dapat menyadari bahwa kita tidak bisa memindahkan sifat natural manusia yang memang ada dalam diri kirta. Kita tidak bisa me-remove hawa nafasu ketertarikan terhadap lawan jenis dalam diri kita (in case when we still normal human being), kita tidak bisa menjamin bahwa otak kita bisa bekerja sempurna setiap saat seperti yang kita harapkan, setiap manusia akan jatuh cinta, setiap dari kita akan melakuakn hal – hal ceroboh dalam hidup.

Tapi, terlepas dari itu semua, buku ini adalah buku yang layak di masukkan ke dalam list bacaan tahun ini. Pesan – pesan yang dikandungnya dapat memberimu berfikir dan mengoreksi diri. Dari semangat Ginko kita dapat bealajar menjadi individu yang lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post