Kamis, 23 Juli 2015

Cerita Tanpa Judul

Cerita Tanpa Judul



Tiba- tiba saja aku berubah menjadi sosok yang selalu merindukan laut. Merindukan riak ombaknya yang selalu mengaung marah, merindukan pasirnya yang begitu mudah meluncur dari genggaman, merindukan anginnya yang selalu menampar kasar wajah dengan helai rambutku. Setiap malam sebelum jatuh tertidur aku selalu mengambil kertas dan pulpen, menulis apa saja alasan yang membuatku begitu sering merindukan laut.
Tapi setiap jatuh tertidur, terbaring menghadap langit-langit kamarku, kata-kata yang baru saja tersusun beberapa menit sebelum aku terbaring  malah menghilang seperti garam yang terlarut didalam air.
Setiap malam aku berfikir keras apa alasan selanjutnya yang harus kutulis di atas kertas yang sudah banyak sekali membentuk pola lipatan. Sampai aku mengonsumsi kafein banyak-banyak agar tetap terus terjaga, dan berfikir sambil sesekali mengetuk-ngetuk jariku ke jidat.
Ahh, mungkin karna laut ada matahari tengelam. Orang-orang suka pantulan wajah matahari yang katanya tenggelam di ujung laut. Aku menulis alasan tersebut di atas kertas. Sebersit rasa menang melintas dalam kepalaku. Tidak sia-sia rupanya berfikir keras sekali, otakku boleh juga.
Kemudian, aku berfikir lagi alasan yang lainnya. Kau tahu, memikirkan alasan-alasan ini seperti mencungkil isi otakmu keluar dari batok kepalamu. Apalagi?
“Laut?” aku mulai meracau seperti merapal mantra
“Ombak?”
“Kepiting?’ terpikir olehku bahwa mungkin saja kepiting alasannya, karna kata orang-orang aku suka kepiting. Bahkan aku tidak ingat apa aku pernah makan kepiting.
“Pasir?”
“…..”
“Perahu?”
“…..”
Semakin keras aku berfikir, semakin saraf-saraf dibelakang kepalaku seperti menggigit-gigit seperti alien kecoa kelaparan. Aku menenggak kafein lagi, mengetuk-ngetuk jidatku dengan telunjuk lagi.
“Air bah” kata-kata itu nyaris seperti suara muntahan keluar dari kerongkonganku, tapi syukurnya masih bisa terdengar jelas ucapan alphabetnya di telingaku. kemudian aku mengulangnya “Air bah”.

                                                                        *
Ombak terdengar marah. Selalu saja seperti itu, setiapa aku berdiri di depan laut, aku selalu merasa ombak marah kepadaku. Hari ini aku mengikat rambutku erat-erat. Aku benci dengan angin yang selalu menarik helai rambutku kesana-kemari. Perahu-perahu kecil terlihat semakin membesar di pelupuk mataku dari ujung laut. Dimana matahari yang selalu mereka bilang menghilang di ujung lautan? Apa dia tidak muncul di tempat yang sama? Aku tidak bisa melihatnya.
Beberapa orang tua dengan kulit hitam terbakar  tengah menarik tali besar dari laut. Mataku menyipit karna asap rokok yang kuhembus dari mulutku sendiri. Sesekali aku terbatuk. Setelah sekian lama belajar merokok aku masi saja suka tersedak dengan asap rokok sendiri.
Dua orang anak remaja jalan di depanku. mereka membawa semacam jaring yang bergulung-gulung dan di sampirkan di bahu. Dari kejauhan mereka sudah memperhatikanku. Awalnya kupikir mereka memperhatikan mobil datsunku yang warnanya mencolok sekali. Tapi, kemudian aku sadar mereka memperhatikan aku dan rokokku.
Aku hanya mencoba tersenyum seramah mungkin. Soal rokok tidak usah diambil pusing lah. Toh, tidak ada yang membuat rokok menjadi berbeda jika di hisap oleh wanita. Mereka masih sama-sama di hisap dari mulut, lagian laki-laki dan wanita apa bedanya? Mereka sama-sama punya  paru-paru yang bisa kapan saja mereka kecewakan. Mereka punya segala hal yang bisa mereka kecewakan.
Kemudian aku  memutuskan untuk duduk. Membiarkan jumpsuit merah jambuku beradu dengan pasir pantai. Biarkan saja kotor, aku punya selusin lagi di rumah. Setelah mereka menjual suaraku mereka sering memberiku barang-barang bagus untuk menyumpal lobang-lobang yang mereka buat pada diriku.
Oh ya, omong- omong aku terfikir lagi dengan alasan yang pernah setengah mati aku pikirkan hari itu tadi pagi untuk pertama kalinya. ‘Air Bah’ itu yang kemudian meluncur seperti suara muntahan dari kerongkonganku. Setelah malam itu aku meminum kafein lima gelas sehari tapi malah tertidur seperti orang mati setelahnya. Tapi aku belum menemukan penjelasan selanjutnya.
Belakangan ini aku merasa tubuhku seperti melakukan perlawanan tak kasat mata yang sering membuatku sedih. Saat aku berada di depan cermin mataku seperti menangis tanpa kuminta. Saat lagi-lagi mereka meminta suaraku untuk dijual bibirku seperti berkata-kata hal-hal yang menyedihkan. Setiap aku berfikir akan seperti apa aku besok otakku malah seperti menyeretku jauh sekali ke hari kemarin.
Aku harus akui, banyak ideologi mereka yang harus dijalankan pada diriku. aku selalu memenuhi kehendak mereka dengan smepurna. Mereka yang berhak memutuskan kapan aku harus tidur dan bangun. Kapan aku harus mandi. Kapan aku harus makan. Kapan aku harus berjalan. Kapan aku harus tertawa. Kapan aku harus menangis. Dan kapan aku harus kecewa.
Mereka yang memilih jumsuit mana yang harus kupakai saat hari minggu. Lipstik warna apa yang harus kupakai. Model rambutku di ganti seminggu sekali. minggu lalu aku punya rambut warna kuning mencolok. Beberapa bulan lalu aku pernah punya rambut yang seperti tentara.
Aku sempat berfikir, apa aku lahir dari ‘Mereka?’ saking minimnya ingatanku tentang aku sebelum memakai baju bergambar penyanyi rock Amerika tahun 60-an dan terombang ambing di laut lepas. Sesekali aku sering mendengar seseorang menangis dalam kepalaku. Tangisnya menyedihkan. Dua tahun belakangan, suara tangis itu semakin sering muncul dalam kepalaku. Semakin hari, aku semakin simpati pada si-pemilik suara. Aku ingin tahu siapa dia, kenapa dia menangis, dan mengapa dia menangis dalam kepalaku. Aku tidak marah, hanya saja aku tidak ingin dia nangis, bertemanlah denganku.
Suatu hari ditengah malam,  saat suara tangisannya memenuhi kepalaku hampir seperti air tanggul yang hampir meluap, aku berguling- guling dilantai kamar sambil menutupi kedua telingaku. Dadaku kembang kempis, sedang urat kepalaku berdenyut-denyut. Setan mana yang sudah merasuki kepalaku dan menangis siang-malam? Apa tidak bisa dia pergi dan merasuki perempuan lain selain aku.
Singkat kata, aku memutuskan untuk bicara dengannya “Siapa sih kau? Kenapa menangis dalam kepalaku?”
Suara ponselku berdering satu kali di atas ranjang. Layarnya memantulkan cahaya kemudian redup kembali. Sempat terfikir untuk mengambil ponsel dan menelfon siapa saja untuk minta tolong. Tapi kemudian niat itu kuurungkan. Bisa-bisa aku disangka gila, kemudian di bawa kerumah sakit hewan buat di bedah kepalanya.
“Siapa kau?”  tanyaku lagi
“Kau tidak kenal aku?” aku terkejut saat seperti mendengar suara tangis itu berubah menjadi sosok yang bisa berkomunikasi Oral. Spontan membuat letak dudukku berubah. Dari yang berguling-guling di lantai menjadi duduk bersila dengan tulang belakang yang berdiri lurus.
“Kau bisa bicara?”
“Tentu” jawabnya. Aku mengedip-nedipkan mata. Takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Seketika aku merasa seperti tokoh dalam buku The Host karangan Stephanie Meyer yang pernah kubaca tahun lalu. Buku itu dihadiahkan seorang teman penjaga rumah yang sering kuajak bicara. Untuk seorang penjaga rumah, dia cukup pintar dan menarik untuk diajak bicara. Buku itu menceritakan tentang alien yang menginvasi tubuh manusia.
Aku ingat tokoh utamanya Melanie Stryder yang tubuhnya jatuh dari sebuah gedung dan tidak hancur. Kemudian para Healer memasukkan alien kedalam tubuhnya. Cepat-cepat aku lari menuju cermin, mengecek retina mataku. Takutnya ada orag gila yang sudah memasukkan alien kedalam tubuhku saat aku sedang tidur. Alien suka menangis. Tapi tidak ada cincin putih sekitaran retinaku. Retinaku masih terlihat bulat, hitam, dan besar.
Pantulan diriku didalam cermin seperti melihatku aneh. Sebenarnya itu yang selalu kurasakan setiap berdiri didepan cermin. Aku merasa pantulanku selalu mengerutkan kening saat melihat aku yang berada di luar cermin. Seperti ada semacam kotoran kuda di wajahku. Pantulan itu seperti melihat penuh jijik. Jadi, aku tidak pernah tahu persis bagaimana wajahku saat didepan cermin, saat aku tertawa , wajah di cermin masih saja mengerut masam.
“Jadi, apa kau semacam alien seperi dalam buku The Host?” sambungku lagi. Suara itu terdengar tengah menarik-narik ingusnya. Suara tarikan ingus memenuhi kepalaku saat ini.
“Bukan”
“Lalu?”
“Cari tahu saja sendiri”
Cihh, sudah menangis dalam kepalaku dan menarik ingus keras-keras masi bisa sombong. makhluk macam apa sih ini.
“Jadi kenapa dalam kepalaku? kenapa tidak cari saja perempuan cantik lain?’
“Jadi kau merasa cantik?”
“Tidak juga sih”
“Kau menangis sudah bertahun-tahun di dalam sana, kau ingin sesuatu atau apa?”
“Aku sudah coba bicara tapi kau tidak paham”
“Bicara apanya? Kapan?”
“Tubuhmu yang melakukan perlawanan, kau ingat?”
“Oh, jadi itu ulahmu? Kau sudah hampir membuat mereka membunuhku saat meracau ini-itu saat seharusnya aku menyanyi”
“Aku sengaja”
ingin sekali kupukul jidatnya, tapi setelah kupikir dua kali jika ingin memukul jidatnya berarti aku harus memukul kepalaku keras-keras. Karna sosok Suara itu berada di suatu tempat dalam kepalaku.
“Bagaimana aku bisa cari tahu kau siapa? Dengan membongkar otakku?” kuperhatikan baik-baik pantulan bibirku yang bergerak naik-turun, melebar dan mengerucut di depan cermin. Lucu juga bicara sendiri di depan cermin.
“Laut” Jawabnya
“Apa?”
“Laut”
“Bagaimana kau tahu aku suka laut?”
“Klu pertamamu laut”
“Ok, baiklah”
“Dan satu lagi, coba cari tahu alasan kenapa kau begitu suka laut”

Begitulah percakapan perdanaku yang tandas dalam hitungan menit saja bersama si-alien-cengeng dalam kepalaku. sebenarnya gagasan mencari alasan mengapa aku suka laut itu datang bukan murni dari keinginanku, semakin hari aku semakin penasaran dengan klu yang diberikan si-alien. Asik juga pikirku jika aku bisa menuntaskan persoalan yang diberikan oleh kepalaku sendiri.

                                                            *


Aku kembali lagi ke laut hari ini seperti pagi itu. Tapi hari ini tidak pergi sepagi waktu itu. jadi, sudah terlihat pantulan matahari terbit di ujung laut. Aku memakai jumpsuit jeans semata kaki warna biru gelap. Omong-omong aku suka sekali memakai jumpsuit, ya?. Seperti biasa, aku pergi dengan datsunku, duduk di pantai sambil menghisap rokok.
Kau ingat, kan, hari pertama kali aku memikirkan ‘Air Bah’ sambil duduk diatas pasir laut?  sejak hari itu banyak gambar-gambar muncul di kepalaku seperti film yang putus-putus. Cuplikan-cuplikan yang cepat-cepat berganti dari satu adegan ke adegan lainnya. Dan, omong- omong soal alien, dia sudah jarang muncul belakangn ini.
Rokokku habis, aku butuh batangan rokok lagi. Jadi, kurogoh saku jumsuitku hingga menemukan sebungkus kotak rokok warna putih. Jari-jari kakiku berlumuran pasir laut. Sendal kucampakkan didalam mobil dan keluar dengan bertelanjang kaki tadi. Matahari pelan-pelan mulai naik. Orang-orang yang berlalu lalang didepanku semakin banyak. Semakin banyak yang lewat, semakin banyak yang melempar pandangan padaku, pada rokokku, juga datsun mencolok yang kusandari.

26 Desember saat kejadian itu terjadi. Air bah meluap entah dari mana, menggulung hingga permukaan padat penduduk. Aku terombang-ambing di antara segala reruntuhan bangunan dan benda-benda lainnya yang tidak pernah terpikir olehmu. Tulang belakangku terbentur berkali-kali. Tanganku tersayat-sayat entah dengan apa. Kurasa aku sudah mati, naumun ketika masih bisa terjaga aku malah terapung di atas sebuah pokok kayu di laut lepas. Aku sudah menelan satu liter lumpur saat itu, jadi merasa lemas dan tidak berdaya. Aku ingat, saat itu aku memakai baju kaus bergambar  penyanyi Rock Amerika tahun 60-an.
Setelah itu ‘Mereka’ mengadopsiku. Mengeluarkan lumpur yang sudah kutelan dan mengobati ususku yang hampir busuk. Menjahit luka-luka di seluruh lenganku. Mengobati tulang belakangku dengan baik. Merawatku dengan begitu manusiawi hari itu dan membuatku membayar semuanya di hari berikutnya.
Mereka membentukku kembali dari awal. Menghancurkan bentuk awalku dan menempa bentuk baru. memolesku dengan segala cara untuk kemudian menjadikanku seperti yang ‘Mereka’ minta. Boleh dibilang ‘Mereka’ seperti alien yang ada dalam buku The Host.
Pada dasarnya, aku persis seperti Melanie Stryder. Tokoh dalam buku The Host yang pernah kubaca. Berperang dengan sesuatu yang mengambil alih tubuhku selama bertahun-tahun. Hanya saja, aku berperang dengan diriku sendiri. Diriku yang lama dan diriku yang baru.
Setelah cuplikan-cuplikan itu menyatu seperti rantai DNA dalam kepalaku, tiba-tiba aku menangis. Sekarang aku menerima dua jenis Zat yang masing-masing membentuk diriku. diriku yang lama dan diriku yang baru. Melahirkanku dua kali bukan hal yang sulit mungkin bagi mereka, tapi bagiku terlahir dua kali seperti menelan genosida.
Untuk pertama kali sejauh yang mampuku ingat, aku menangis dengan begitu khidmat. Aku menangis atas kehendakku sendiri. Untuk pertama kali aku sadar bahwa air mata terasa hangat saat menyentuh pipi, dan ingus merupakan bagian paling mendominasi saat kau menangis.
Ombak marah lagi, bergulung-gulung di depanku. Seperti ingin berlari kearahku tapi kemudian hancur di bibir pantai. Seperti mereka mengulur tangan-tangan yang tidak akan pernah sampai kemana-mana. Sekarang ombak terlihat seperti jalanku untuk pulang. Aku ingin marah, tapi angin meredam teriakanku.






“DON’T LET SOCIETY LABEL YOU”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post