Cerita Tanpa Judul
Tiba- tiba saja aku berubah menjadi sosok yang selalu
merindukan laut. Merindukan riak ombaknya yang selalu mengaung marah,
merindukan pasirnya yang begitu mudah meluncur dari genggaman, merindukan
anginnya yang selalu menampar kasar wajah dengan helai rambutku. Setiap malam
sebelum jatuh tertidur aku selalu mengambil kertas dan pulpen, menulis apa saja
alasan yang membuatku begitu sering merindukan laut.
Tapi setiap jatuh tertidur, terbaring menghadap
langit-langit kamarku, kata-kata yang baru saja tersusun beberapa menit sebelum
aku terbaring malah menghilang seperti
garam yang terlarut didalam air.
Setiap malam aku berfikir keras apa alasan selanjutnya
yang harus kutulis di atas kertas yang sudah banyak sekali membentuk pola
lipatan. Sampai aku mengonsumsi kafein banyak-banyak agar tetap terus terjaga,
dan berfikir sambil sesekali mengetuk-ngetuk jariku ke jidat.
Ahh, mungkin karna laut ada matahari tengelam.
Orang-orang suka pantulan wajah matahari yang katanya tenggelam di ujung laut.
Aku menulis alasan tersebut di atas kertas. Sebersit rasa menang melintas dalam
kepalaku. Tidak sia-sia rupanya berfikir keras sekali, otakku boleh juga.
Kemudian, aku berfikir lagi alasan yang lainnya. Kau
tahu, memikirkan alasan-alasan ini seperti mencungkil isi otakmu keluar dari
batok kepalamu. Apalagi?
“Laut?” aku mulai meracau seperti merapal mantra
“Ombak?”
“Kepiting?’ terpikir olehku bahwa mungkin saja
kepiting alasannya, karna kata orang-orang aku suka kepiting. Bahkan aku tidak
ingat apa aku pernah makan kepiting.
“Pasir?”
“…..”
“Perahu?”
“…..”
Semakin keras aku berfikir, semakin saraf-saraf
dibelakang kepalaku seperti menggigit-gigit seperti alien kecoa kelaparan. Aku
menenggak kafein lagi, mengetuk-ngetuk jidatku dengan telunjuk lagi.
“Air bah” kata-kata itu nyaris seperti suara muntahan
keluar dari kerongkonganku, tapi syukurnya masih bisa terdengar jelas ucapan
alphabetnya di telingaku. kemudian aku mengulangnya “Air bah”.
*
Ombak terdengar marah. Selalu saja seperti itu,
setiapa aku berdiri di depan laut, aku selalu merasa ombak marah kepadaku. Hari
ini aku mengikat rambutku erat-erat. Aku benci dengan angin yang selalu menarik
helai rambutku kesana-kemari. Perahu-perahu kecil terlihat semakin membesar di
pelupuk mataku dari ujung laut. Dimana matahari yang selalu mereka bilang
menghilang di ujung lautan? Apa dia tidak muncul di tempat yang sama? Aku tidak
bisa melihatnya.
Beberapa orang tua dengan kulit hitam terbakar tengah menarik tali besar dari laut. Mataku
menyipit karna asap rokok yang kuhembus dari mulutku sendiri. Sesekali aku
terbatuk. Setelah sekian lama belajar merokok aku masi saja suka tersedak
dengan asap rokok sendiri.
Dua orang anak remaja jalan di depanku. mereka membawa
semacam jaring yang bergulung-gulung dan di sampirkan di bahu. Dari kejauhan
mereka sudah memperhatikanku. Awalnya kupikir mereka memperhatikan mobil
datsunku yang warnanya mencolok sekali. Tapi, kemudian aku sadar mereka
memperhatikan aku dan rokokku.
Aku hanya mencoba tersenyum seramah mungkin. Soal
rokok tidak usah diambil pusing lah. Toh, tidak ada yang membuat rokok menjadi
berbeda jika di hisap oleh wanita. Mereka masih sama-sama di hisap dari mulut,
lagian laki-laki dan wanita apa bedanya? Mereka sama-sama punya paru-paru yang bisa kapan saja mereka
kecewakan. Mereka punya segala hal yang bisa mereka kecewakan.
Kemudian aku memutuskan untuk duduk. Membiarkan jumpsuit
merah jambuku beradu dengan pasir pantai. Biarkan saja kotor, aku punya selusin
lagi di rumah. Setelah mereka menjual suaraku mereka sering memberiku
barang-barang bagus untuk menyumpal lobang-lobang yang mereka buat pada diriku.
Oh ya, omong- omong aku terfikir lagi dengan alasan
yang pernah setengah mati aku pikirkan hari itu tadi pagi untuk pertama kalinya.
‘Air Bah’ itu yang kemudian meluncur seperti suara muntahan dari
kerongkonganku. Setelah malam itu aku meminum kafein lima gelas sehari tapi
malah tertidur seperti orang mati setelahnya. Tapi aku belum menemukan penjelasan
selanjutnya.
Belakangan ini aku merasa tubuhku seperti melakukan
perlawanan tak kasat mata yang sering membuatku sedih. Saat aku berada di depan
cermin mataku seperti menangis tanpa kuminta. Saat lagi-lagi mereka meminta
suaraku untuk dijual bibirku seperti berkata-kata hal-hal yang menyedihkan.
Setiap aku berfikir akan seperti apa aku besok otakku malah seperti menyeretku
jauh sekali ke hari kemarin.
Aku harus akui, banyak ideologi mereka yang harus
dijalankan pada diriku. aku selalu memenuhi kehendak mereka dengan smepurna.
Mereka yang berhak memutuskan kapan aku harus tidur dan bangun. Kapan aku harus
mandi. Kapan aku harus makan. Kapan aku harus berjalan. Kapan aku harus
tertawa. Kapan aku harus menangis. Dan kapan aku harus kecewa.
Mereka yang memilih jumsuit mana yang harus kupakai
saat hari minggu. Lipstik warna apa yang harus kupakai. Model rambutku di ganti
seminggu sekali. minggu lalu aku punya rambut warna kuning mencolok. Beberapa
bulan lalu aku pernah punya rambut yang seperti tentara.
Aku sempat berfikir, apa aku lahir dari ‘Mereka?’
saking minimnya ingatanku tentang aku sebelum memakai baju bergambar penyanyi
rock Amerika tahun 60-an dan terombang ambing di laut lepas. Sesekali aku
sering mendengar seseorang menangis dalam kepalaku. Tangisnya menyedihkan. Dua
tahun belakangan, suara tangis itu semakin sering muncul dalam kepalaku.
Semakin hari, aku semakin simpati pada si-pemilik suara. Aku ingin tahu siapa
dia, kenapa dia menangis, dan mengapa dia menangis dalam kepalaku. Aku tidak marah,
hanya saja aku tidak ingin dia nangis, bertemanlah denganku.
Suatu hari ditengah malam, saat suara tangisannya memenuhi kepalaku
hampir seperti air tanggul yang hampir meluap, aku berguling- guling dilantai
kamar sambil menutupi kedua telingaku. Dadaku kembang kempis, sedang urat
kepalaku berdenyut-denyut. Setan mana yang sudah merasuki kepalaku dan menangis
siang-malam? Apa tidak bisa dia pergi dan merasuki perempuan lain selain aku.
Singkat kata, aku memutuskan untuk bicara dengannya
“Siapa sih kau? Kenapa menangis dalam kepalaku?”
Suara ponselku berdering satu kali di atas ranjang.
Layarnya memantulkan cahaya kemudian redup kembali. Sempat terfikir untuk
mengambil ponsel dan menelfon siapa saja untuk minta tolong. Tapi kemudian niat
itu kuurungkan. Bisa-bisa aku disangka gila, kemudian di bawa kerumah sakit
hewan buat di bedah kepalanya.
“Siapa kau?”
tanyaku lagi
“Kau tidak kenal aku?” aku terkejut saat seperti
mendengar suara tangis itu berubah menjadi sosok yang bisa berkomunikasi Oral.
Spontan membuat letak dudukku berubah. Dari yang berguling-guling di lantai
menjadi duduk bersila dengan tulang belakang yang berdiri lurus.
“Kau bisa bicara?”
“Tentu” jawabnya. Aku mengedip-nedipkan mata. Takjub
dengan apa yang baru saja terjadi. Seketika aku merasa seperti tokoh dalam buku
The Host karangan Stephanie Meyer
yang pernah kubaca tahun lalu. Buku itu dihadiahkan seorang teman penjaga rumah
yang sering kuajak bicara. Untuk seorang penjaga rumah, dia cukup pintar dan
menarik untuk diajak bicara. Buku itu menceritakan tentang alien yang
menginvasi tubuh manusia.
Aku ingat tokoh utamanya Melanie Stryder yang tubuhnya
jatuh dari sebuah gedung dan tidak hancur. Kemudian para Healer memasukkan
alien kedalam tubuhnya. Cepat-cepat aku lari menuju cermin, mengecek retina
mataku. Takutnya ada orag gila yang sudah memasukkan alien kedalam tubuhku saat
aku sedang tidur. Alien suka menangis. Tapi tidak ada cincin putih sekitaran retinaku.
Retinaku masih terlihat bulat, hitam, dan besar.
Pantulan diriku didalam cermin seperti melihatku aneh.
Sebenarnya itu yang selalu kurasakan setiap berdiri didepan cermin. Aku merasa
pantulanku selalu mengerutkan kening saat melihat aku yang berada di luar
cermin. Seperti ada semacam kotoran kuda di wajahku. Pantulan itu seperti
melihat penuh jijik. Jadi, aku tidak pernah tahu persis bagaimana wajahku saat
didepan cermin, saat aku tertawa , wajah di cermin masih saja mengerut masam.
“Jadi, apa kau semacam alien seperi dalam buku The
Host?” sambungku lagi. Suara itu terdengar tengah menarik-narik ingusnya. Suara
tarikan ingus memenuhi kepalaku saat ini.
“Bukan”
“Lalu?”
“Cari tahu saja sendiri”
Cihh, sudah menangis dalam kepalaku dan menarik ingus keras-keras
masi bisa sombong. makhluk macam apa sih ini.
“Jadi kenapa dalam kepalaku? kenapa tidak cari saja
perempuan cantik lain?’
“Jadi kau merasa cantik?”
“Tidak juga sih”
“Kau menangis sudah bertahun-tahun di dalam sana, kau
ingin sesuatu atau apa?”
“Aku sudah coba bicara tapi kau tidak paham”
“Bicara apanya? Kapan?”
“Tubuhmu yang melakukan perlawanan, kau ingat?”
“Oh, jadi itu ulahmu? Kau sudah hampir membuat mereka
membunuhku saat meracau ini-itu saat seharusnya aku menyanyi”
“Aku sengaja”
ingin sekali kupukul jidatnya, tapi setelah kupikir
dua kali jika ingin memukul jidatnya berarti aku harus memukul kepalaku
keras-keras. Karna sosok Suara itu berada di suatu tempat dalam kepalaku.
“Bagaimana aku bisa cari tahu kau siapa? Dengan
membongkar otakku?” kuperhatikan baik-baik pantulan bibirku yang bergerak
naik-turun, melebar dan mengerucut di depan cermin. Lucu juga bicara sendiri di
depan cermin.
“Laut” Jawabnya
“Apa?”
“Laut”
“Bagaimana kau tahu aku suka laut?”
“Klu pertamamu laut”
“Ok, baiklah”
“Dan satu lagi, coba cari tahu alasan kenapa kau
begitu suka laut”
Begitulah percakapan perdanaku yang tandas dalam
hitungan menit saja bersama si-alien-cengeng dalam kepalaku. sebenarnya gagasan
mencari alasan mengapa aku suka laut itu datang bukan murni dari keinginanku,
semakin hari aku semakin penasaran dengan klu yang diberikan si-alien. Asik
juga pikirku jika aku bisa menuntaskan persoalan yang diberikan oleh kepalaku
sendiri.
*
Aku kembali lagi ke laut hari ini seperti pagi itu.
Tapi hari ini tidak pergi sepagi waktu itu. jadi, sudah terlihat pantulan
matahari terbit di ujung laut. Aku memakai jumpsuit jeans semata kaki warna biru
gelap. Omong-omong aku suka sekali memakai jumpsuit, ya?. Seperti biasa, aku
pergi dengan datsunku, duduk di pantai sambil menghisap rokok.
Kau ingat, kan, hari pertama kali aku memikirkan ‘Air
Bah’ sambil duduk diatas pasir laut? sejak hari itu banyak gambar-gambar muncul di
kepalaku seperti film yang putus-putus. Cuplikan-cuplikan yang cepat-cepat
berganti dari satu adegan ke adegan lainnya. Dan, omong- omong soal alien, dia
sudah jarang muncul belakangn ini.
Rokokku habis, aku butuh batangan rokok lagi. Jadi,
kurogoh saku jumsuitku hingga menemukan sebungkus kotak rokok warna putih.
Jari-jari kakiku berlumuran pasir laut. Sendal kucampakkan didalam mobil dan
keluar dengan bertelanjang kaki tadi. Matahari pelan-pelan mulai naik.
Orang-orang yang berlalu lalang didepanku semakin banyak. Semakin banyak yang
lewat, semakin banyak yang melempar pandangan padaku, pada rokokku, juga datsun
mencolok yang kusandari.
26 Desember saat kejadian itu terjadi. Air bah meluap
entah dari mana, menggulung hingga permukaan padat penduduk. Aku
terombang-ambing di antara segala reruntuhan bangunan dan benda-benda lainnya
yang tidak pernah terpikir olehmu. Tulang belakangku terbentur berkali-kali.
Tanganku tersayat-sayat entah dengan apa. Kurasa aku sudah mati, naumun ketika
masih bisa terjaga aku malah terapung di atas sebuah pokok kayu di laut lepas.
Aku sudah menelan satu liter lumpur saat itu, jadi merasa lemas dan tidak
berdaya. Aku ingat, saat itu aku memakai baju kaus bergambar penyanyi Rock Amerika tahun 60-an.
Setelah itu ‘Mereka’ mengadopsiku. Mengeluarkan lumpur
yang sudah kutelan dan mengobati ususku yang hampir busuk. Menjahit luka-luka
di seluruh lenganku. Mengobati tulang belakangku dengan baik. Merawatku dengan
begitu manusiawi hari itu dan membuatku membayar semuanya di hari berikutnya.
Mereka membentukku kembali dari awal. Menghancurkan
bentuk awalku dan menempa bentuk baru. memolesku dengan segala cara untuk
kemudian menjadikanku seperti yang ‘Mereka’ minta. Boleh dibilang ‘Mereka’
seperti alien yang ada dalam buku The
Host.
Pada dasarnya, aku persis seperti Melanie Stryder.
Tokoh dalam buku The Host yang pernah
kubaca. Berperang dengan sesuatu yang mengambil alih tubuhku selama
bertahun-tahun. Hanya saja, aku berperang dengan diriku sendiri. Diriku yang
lama dan diriku yang baru.
Setelah cuplikan-cuplikan itu menyatu seperti rantai
DNA dalam kepalaku, tiba-tiba aku menangis. Sekarang aku menerima dua jenis Zat
yang masing-masing membentuk diriku. diriku yang lama dan diriku yang baru.
Melahirkanku dua kali bukan hal yang sulit mungkin bagi mereka, tapi bagiku
terlahir dua kali seperti menelan genosida.
Untuk pertama kali sejauh yang mampuku ingat, aku
menangis dengan begitu khidmat. Aku menangis atas kehendakku sendiri. Untuk
pertama kali aku sadar bahwa air mata terasa hangat saat menyentuh pipi, dan
ingus merupakan bagian paling mendominasi saat kau menangis.
Ombak marah lagi, bergulung-gulung di depanku. Seperti
ingin berlari kearahku tapi kemudian hancur di bibir pantai. Seperti mereka
mengulur tangan-tangan yang tidak akan pernah sampai kemana-mana. Sekarang
ombak terlihat seperti jalanku untuk pulang. Aku ingin marah, tapi angin
meredam teriakanku.
“DON’T LET SOCIETY
LABEL YOU”