Tampilkan postingan dengan label Shortstory. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shortstory. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Mei 2017

MY FIRST LOVE

My another work. This story had been participated in national writing competition held by Jejak Publisher themed “ My first…..”
Pelase click the link Read More for continue reading. Please support my story in wattpad by giving me a vote. Thanks for your willingness I really appreciate it.


Kamis, 18 Mei 2017

I'M NOT OK, BUT IT'S OK

I’m not ok, but it’s ok
Like—no—like is pathetic and puny. Love in other hand we oftenly run away from word like that. But, fall in love is the best way to suicide.

Please visit my wattpad for continue reading Read more  please support me by visiting my blog or reading my story by clicking the link that I had been shorten. I appreciate your willingness. Thank you so much.

Kamis, 26 Januari 2017

Berbahagialah, Murf (Short Story)

Writen By Azhari  

Karena seharusnya sebelum pergi kau harus meminta pada setiap orang yang kau tinggalkan untuk tetap berbahagia tanpa dirimu.

Sepasang kekasih di depan mataku membuat kepalaku rasanya ingin pecah dengan segala desakan kenangan dan emosi. Aku sudah menengak dua puluh kaleng Bir sambil mengenakan setelan termahal yang aku beli kemarin untuk menghadiri pernikahan ke dua mantan istriku. Kubeli dengan harga satu bulan gajiku bekerja di perusahaan periklanan tolol. Kubeli hanya untuk menghormati pestanya yang megah dan meriah.
Dia menemukanku kembali setelah dua tahun perceraian kami. Alasannya adalah untuk mengundangku pada pernikahannya dengan laki- laki brengsek yang pasti akan sangat kubenci. Aku tidak mengerti entah maksudnya hanya untuk menambah kepaharan ledakan yang terjadi pada diriku atau ada hal lain. Aku sempat berfikir wanita yang pernah kunikahi ini begitu brengsek ternyata. Tetapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang pernah kukatakan padanya dulu. “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti.” dan dia menjawab tantanganku beberapa hari lalu dengan membawa undangan pernikahannya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi yag pernah kami datangi ketika masih bersama dulu. Dia memakai dress warna merah muda tanpa lengan, rambutnya tergerai dibalik bahunya. Melihatnya seperti melihat hantu yang jadi kenyataan.
“Susah sekali menemukanmu.” Katanya
“Aku sedang berhenti hidup belakangan ini.” aku tidak berkmaksud sinis. Tetapi kata- kataku malah terdengar seperti desingan parang yang sedang di asah. Mantan istriku mengulum senyum tipis. Entah dia merasa sakit hati atau tidak.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini.” disodorkan selembar undangan dalam balutan plastik licin. “Undangan pernikahanku.”
“Jauh- jauh mencariku hanya untuk memberikan ini?”
“Iya.”
“Haha, kau tidak usah repot- repot lah. “
“Kau yang memintaku dulu.”  katanya . “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti. Seperti itu permintaanmu, kan?”
Dan dia ingin bilang bahwa dia begitu bahagia sekarang tanpa diriku?
Kuambil undangannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke dalam tas kerja, berdesakan dengan berkas- berkas pekerjaanku yang tidak pernah habis.
“Terimakasih sudah memberitahuku bahwa kau sudah bahagia sekarang.” aku menyesap kopi, seolah ini percakapan santai yang bisa di selangi dengan sesapan kopi. “Tapi sebenarnya kau tidak perlu memenuhi permintaan itu.”
“Harus.”
“Mengapa?”
“Ini terjadi karna dirimu.”
Aku mengerutkan kening.
“Jika tidak gagal bersamamu aku tidak akan sampai pada tahap ini.”
Gagal? Aku mengulang kata- kata itu dalam kepalaku ratusan kali dengan kecepatan bintang. Mendapati kenyataan bahwa kau hanyalah sebuah kegagalan yang menuntun seseorang pada kebahagiannya adalah cara tercepat untuk bunuh diri.
Dia pernah mengatakan padaku bahwa perceraian harus terjadi karna cinta tidak cukup untuk menampung kami berdua. “ Yang kita miliki hanya ingatan bahwa kita pernah jatuh cinta dan itu tidak cukup untuk menjadi alasan mempertahankan ribuan ketidak cocokan yang kita miliki satu sama lain. Kita hanya selalu bertabrakan dan menyakiti diri masing- masing. Dan aku tidak ingin menjadi penyakit untuk siapapun terutama dirimu.” setelah itu kami bercerai. Sesingkat itu.
“Andai saja kita tidak gagal.” Kataku setengah tertawa.
“Terkadang ada yang harus kita ikhlaskan karna tidak semua hal bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga harus realistis.”
Dan perasaanku yang jatuh pada dirinya bukanlah hal yang realistis.
Aku tidak bisa menjawab apapun. Yang kulakukan adalah menyelamatkan sisa- sisa kekuatan untuk menyambung kehidupan setelah keluar dari kedai kopi ini nanti. Aku tidak pernah membayangkan hari ini datang seperti ledakan bom bunuh diri yang disematkan di dalam sela- sela arteri atau jantungku.
“Aku tidak bermaksud memperparah ledakan yang terjadi padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berusaha berbahagia seperti yang pernah kau minta, dan begitu juga yang kuinginkan darimu. Jika keduanya dari kita berhenti menjadi orang yang bahagia maka kita akan hanya menjadi penyakit untuk satu sama lain. Dan aku benci itu.” katanya sambil menggenggam tanganku erat sekali.
“Jika kita adalah dua orang yang tidak bahagia ketika bersama, setidaknya kita bisa menjadi dua orang yang bahagia ketika tidak bersama.”
“Berbahagialah, Murf…”



Minggu, 18 Desember 2016

Goldilocks And Three Bears (INA Translate)

Just concerned about childrens whom need storytale than gadget in their childhood lately. so i'm trying my best to translate through my broken english. Hope children will read it and i completely feel usefull.

GOLDILOCKS DAN TIGA BERUANG
Pada zaman dahulu tersbutlah seorang anak perempuan bernama Goldilocks. Ia mempunyai rambut panjang yang berwarna seperti emas. Suatu hati Goldilocks berjalan – jalan kedalam hutan, ia melihat sebuah rumah dan kemudian mengetuk pintunya. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dan tidak menemukan seorang pun disana. Goldilocks melihat ada tigabuah mangkuk di atas meja, mangkuk tersebut berisi bubur, Goldilocks merasa sangat lapar.
“Bubur ini terlalu panas! Yang ini terlalu dingin! Dan ini bubur yang tepat.” kemudian Golsilocks memakan ketiga mangkuk bubur tersebut. Goldilocks merasa lelah sekarang, dia naik kelantai aas dan menemukan tempat tidur . “Tempat tidur ini terlalu keras! Yang ini terlalu lembut! Yang satu ini tempat tidur yang pas.”
Kemudian keluarga beruang pun pulang kerumah mereka dan menemukan mangkuk bubur mereka yang kososng di atas meja.
“Seseorang sudah memakan buburku.” Kata ibu beruang
“Seseorang sudah memakan buburku.” Kata ibu beruang
“Seseorang sudah memakan buburku sampai habis.” Kata anak beruang
Kemudian ayah beruang berkata lagi “Seseorang telah menduduki tempat dudukku.” Dan ibu beruangpun mengatakan hal yang sama. begitu juga anak beruag “Seseorang telah duduk dikursiku dan sekarang sudah rusak.”
Kemudian mereka naik ke lantai atas dan masuk ke kamar tidur. Ayah dan ibu beruang berkata “Ada yang sudah tidur di tempat tidurku.”
Dan anak beruang pun berkata “Ada yang sudah tidur di tempat tidurku, dan dia masih disana.”
Ketika Goldilocks terbangun da melihat tiga beruang didepannya dia berteriak “Tolong!” kemudian ia lari menuruni tangga dan masuk ke dalam hutan. Ia tidak pernah datang kembali.

Source: LearnEnglishKids.britishcouncil.org


Kamis, 15 Desember 2016

Kebahagian Yang Tidak Bersama (ShortStory)

Karna seharusnya sebelum pergi kau harus meminta pada setiap orang yang kau tinggalkan untuk tetap berbahagia tanpa dirimu.

Sepasang kekasih di depan mataku membuat kepalaku rasanya ingin pecah dengan segala desakan kenangan dan emosi. Aku sudah menengak dua puluh kaleng Bir sambil mengenakan setelan termahal yang aku beli kemarin untuk menghadiri pernikahan ke dua mantan istriku. Kubeli dengan harga satu bulan gajiku bekerja di perusahaan periklanan tolol. Kubeli hanya untuk menghormati pestanya yang megah dan meriah.
Dia menemukanku kembali setelah dua tahun perceraian kami. Alasannya adalah untuk mengundangku pada pernikahannya dengan laki- laki brengsek yang pasti akan sangat kubenci. Aku tidak mengerti entah maksudnya hanya untuk menambah kepaharan ledakan yang terjadi pada diriku atau ada hal lain. Aku sempat berfikir wanita yang pernah kunikahi ini begitu brengsek ternyata. Tetapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang pernah kukatakan padanya dulu. “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti.” dan dia menjawab tantanganku beberapa hari lalu dengan membawa undangan pernikahannya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi yag pernah kami datangi ketika masih bersama dulu. Dia memakai dress warna merah muda tanpa lengan, rambutnya tergerai dibalik bahunya. Melihatnya seperti melihat hantu yang jadi kenyataan.
“Susah sekali menemukanmu.” Katanya
“Aku sedang berhenti hidup belakangan ini.” aku tidak berkmaksud sinis. Tetapi kata- kataku malah terdengar seperti desingan parang yang sedang di asah. Mantan istriku mengulum senyum tipis. Entah dia merasa sakit hati atau tidak.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini.” disodorkan selembar undangan dalam balutan plastik licin. “Undangan pernikahanku.”
“Jauh- jauh mencariku hanya untuk memberikan ini?”
“Iya.”
“Haha, kau tidak usah repot- repot lah. “
“Kau yang memintaku dulu.”  katanya . “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti. Seperti itu permintaanmu, kan?”
Dan dia ingin bilang bahwa dia begitu bahagia sekarang tanpa diriku?
Kuambil undangannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke dalam tas kerja, berdesakan dengan berkas- berkas pekerjaanku yang tidak pernah habis.
“Terimakasih sudah memberitahuku bahwa kau sudah bahagia sekarang.” aku menyesap kopi, seolah ini percakapan santai yang bisa di selangi dengan sesapan kopi. “Tapi sebenarnya kau tidak perlu memenuhi permintaan itu.”
“Harus.”
“Mengapa?”
“Ini terjadi karna dirimu.”
Aku mengerutkan kening.
“Jika tidak gagal bersamamu aku tidak akan sampai pada tahap ini.”
Gagal? Aku mengulang kata- kata itu dalam kepalaku ratusan kali dengan kecepatan bintang. Mendapati kenyataan bahwa kau hanyalah sebuah kegagalan yang menuntun seseorang pada kebahagiannya adalah cara tercepat untuk bunuh diri.
Dia pernah mengatakan padaku bahwa perceraian harus terjadi karna cinta tidak cukup untuk menampung kami berdua. “ Yang kita miliki hanya ingatan bahwa kita pernah jatuh cinta dan itu tidak cukup untuk menjadi alasan mempertahankan ribuan ketidak cocokan yang kita miliki satu sama lain. Kita hanya selalu bertabrakan dan menyakiti diri masing- masing. Dan aku tidak ingin menjadi penyakit untuk siapapun terutama dirimu.” setelah itu kami bercerai. Sesingkat itu.
“Andai saja kita tidak gagal.” Kataku setengah tertawa.
“Terkadang ada yang harus kita ikhlaskan karna tidak semua hal bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga harus realistis.”
Dan perasaanku yang jatuh pada dirinya bukanlah hal yang realistis?
Aku tidak bisa menjawab apapun. Yang kulakukan adalah menyelamatkan sisa- sisa kekuatan untuk menyambung kehidupan setelah keluar dari kedai kopi ini nanti. Aku tidak pernah membayangkan hari ini datang seperti ledakan bom bunuh diri yang disematkan di dalam sela- sela arteri atau jantungku.
“Aku tidak bermaksud memperparah ledakan yang terjadi padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berusaha berbahagia seperti yang pernah kau minta, dan begitu juga yang kuinginkan darimu. Jika keduanya dari kita berhenti menjadi orang yang bahagia maka kita akan hanya menjadi penyakit untuk satu sama lain. Dan aku benci itu.” katanya sambil menggenggam tanganku erat sekali.
“Jika kita adalah dua orang yang tidak bahagia ketika bersama, setidaknya kita bisa menjadi dua orang yang bahagia ketika tidak bersama.”
“Berbahagialah, Murf…”


Kamis, 08 Oktober 2015

Letter For Summer

"You can love someone so much, but you can never love people as much as you can miss them"__John Green

I love you, i knew you knew it. You said that i should go, because you should leave. We can remember each other even we both lying in the machine time, because it was my amazing journey, your amazing journey, our amazing journey. Did you promise me that you won't forget my name? i keep thinking about that last conversation.

We are collide, and something has collide should be separate sometimes. How could i accept to have a thought like that, my brain shout out 'over' to the mirror while my heart calling out your name. How is the brain and heart become difference in same me? which one i supposed to trust between heart and brain while you walk away?

You said i deserve to be loved constantly with hungry hearts and hands out there, but why those people not you? 

i'm not trying to be dramatic drowning in you, because let me clear something here, i never plan to love you but my heart did.I hope you can understand which one i trust now.


be happy love.


always.




                          somewhere you used to know.




Senin, 14 September 2015

Perjalanan



“Cinta adalah bagian terbaik dari cerita apapun.” Aku pernah membaca kalimat ini di salah satu buku yang pernah kupinjam. Aku lupa yang mana, aku banyak meminjam buku. Membaca adalah salah satu perlindungan yang dari dulu kulakukan. Tidak punya banyak pilihan. Jika membaca kau bisa sembunyi dari Bumi dan membangun duniamu sendiri kan?  di bumi banyak alien, jadi kau harus punya dunia lain, kalau- kalau mereka menyerang kau bisa selamat dari penyerangan.
Aku mengalami tabrakan parah. Terbentur hingga bagian dalamku rusak parah. Tabrakannya terjadi ketika aku tengah dalam perjalanan yang cukup menyenangkan, tanpa sadar aku menabrak pembatas jalan. itu terjadi dua tahun lalu, tapi rasanya sudah terjadi puluhan juta tahun yang lalu dan kerusakan parahnya masih ada sampai sekarang. Bocor dimana- mana, retak, hancur, dan hal- hal mengerikan lainnya yang pernah dokter bilang di depan wajahku ketika aku tertidur.
Aku membawa kerusakan parah kemanapun; ke sekolah, toko buku, taman olah raga, pasar, super market, toko roti, rumah sakit, ke manapun. Aku tidak ingin orang lain tahu tentang kerusakan parahku. Karna mereka tidak akan mengerti bagian mana yang hancur atau bocor atau sudah copot, dan takutnya akan menambah kerusakan yang lebih parah jika kuceritakan pada mereka.
Jadi, aku tertawa sepanjang hari. Hanya pada beberapa kesempatan aku kalah dari kerusakan paraku, jadi aku menangis didalam kelas sendirian. Kalau aku nangis tidak ada yang akan menyadarinya. Orang- orang sulit menyadari apa yang sedang terjadi padaku. mereka sulit menerjemahkan kode morse yang kukirim dari satelitku, hanya beberapa orang yang memang punya hati mulia yang akan mengerti, mungkin. Lagipula, tidak masalah dengan orang- orang karna terkadang aku juga tidak ingin memahami mereka. Kajian mereka terlalu tinggi jadi sulit di mengerti olehku.
Jika kau tanya seberapa sakit kerusakan parah yang terjadi padaku, aku tidak bisa mengatakannya padamu, tidak bisa dibilang dengan skala 1-10 juga. Sakitnya berbentuk nyeri yang menjalar dengan kecepatan cahaya bintang. Sementara waktu, dokter menutup kerusakan parahku dengan gelembung tertawa yang tipis, suatu hari mungkin bisa pecah jika tidak di tolong.
Orang- orang melihatku dengan rasa kasihan yang setengah di buat- buat, atau mungkin dengan sepenuh hati, belakangan aku sulit membedakan hal- hal semacam itu. Beberapa waktu lalu, seseorang datang menemuiku ketika aku dan shoezy bermain. Katanya dia seorang Dokter, dia menawariku sebuah perbaikan atas semua kebocoran, keretakan, dan kehancuran yang terjadi bekas tabrakan. Dia dokter yang baik, setiap kali memeriksa kerusakanku dia selalu memberiku gula- gula. Jujur saja, itu hal yang menyenangkan untuk anak kecil yang habis tertabrak dan mengalami kecacatan, mungkin.
Suatu hari dia mengajukan suatu tawaran untuk mengoperasi seluruh kerusakanku. Sudah kubilang aku rusak parah, banyak onderdil yang harus diganti dan itu mungkin cukup mahal dan mungkin saja suku cadangnya sulit di dapat. Kemudian dia bilang ‘Kita bisa mengganti dengan suku cadang yang sudah ada, suku cadang sulitmu akan di ganti dengan suku cadang yang lebih mudah di dapat, yang lebih murah juga, asalkan kau bisa sama seperti anak lainnya’. Suku cadang yang murah? Yang tidak begitu berharga? Tentu. Itu saja yang mudah di dapat kan?
Kau tahu apa yang aku katakan ketika kami sampai di ruang operasi? Aku menolak mentah- mentah tawarannya. Dokter itu agak terkejut, belum ada yang menolak kemurahan hatinya selama ini. Baru aku. Dan mungkin hanya aku. Dengan kening berkerut dia berkata ‘Kenapa kau menolak kemurahan hatiku?’.
Kemudian aku menjawab ‘Ya, kau mungkin murah hati sekali. tapi aku tidak ingin di tukar dengan suku cadang yang lebih murah. Suku cadangku rusak tapi masi tetap berfungsi. Dan, satu hal, jika aku mengganti semua suku cadangku dengan suku cadang yang akan kau berikan, maka semua ingatan perjalananku yang cukup menyenangkan akan pecah, berantakan di udara, dan menghilang bersama hujan, dan aku tidak ingin itu terjadi. Anak- anak mana pun tidak akan pernah mendapati perjalanan semacam ini, bahkan mungkin kau. Karna ini perjalanan yang paling berharga.’


Kamis, 23 Juli 2015

Cerita Tanpa Judul

Cerita Tanpa Judul



Tiba- tiba saja aku berubah menjadi sosok yang selalu merindukan laut. Merindukan riak ombaknya yang selalu mengaung marah, merindukan pasirnya yang begitu mudah meluncur dari genggaman, merindukan anginnya yang selalu menampar kasar wajah dengan helai rambutku. Setiap malam sebelum jatuh tertidur aku selalu mengambil kertas dan pulpen, menulis apa saja alasan yang membuatku begitu sering merindukan laut.
Tapi setiap jatuh tertidur, terbaring menghadap langit-langit kamarku, kata-kata yang baru saja tersusun beberapa menit sebelum aku terbaring  malah menghilang seperti garam yang terlarut didalam air.
Setiap malam aku berfikir keras apa alasan selanjutnya yang harus kutulis di atas kertas yang sudah banyak sekali membentuk pola lipatan. Sampai aku mengonsumsi kafein banyak-banyak agar tetap terus terjaga, dan berfikir sambil sesekali mengetuk-ngetuk jariku ke jidat.
Ahh, mungkin karna laut ada matahari tengelam. Orang-orang suka pantulan wajah matahari yang katanya tenggelam di ujung laut. Aku menulis alasan tersebut di atas kertas. Sebersit rasa menang melintas dalam kepalaku. Tidak sia-sia rupanya berfikir keras sekali, otakku boleh juga.
Kemudian, aku berfikir lagi alasan yang lainnya. Kau tahu, memikirkan alasan-alasan ini seperti mencungkil isi otakmu keluar dari batok kepalamu. Apalagi?
“Laut?” aku mulai meracau seperti merapal mantra
“Ombak?”
“Kepiting?’ terpikir olehku bahwa mungkin saja kepiting alasannya, karna kata orang-orang aku suka kepiting. Bahkan aku tidak ingat apa aku pernah makan kepiting.
“Pasir?”
“…..”
“Perahu?”
“…..”
Semakin keras aku berfikir, semakin saraf-saraf dibelakang kepalaku seperti menggigit-gigit seperti alien kecoa kelaparan. Aku menenggak kafein lagi, mengetuk-ngetuk jidatku dengan telunjuk lagi.
“Air bah” kata-kata itu nyaris seperti suara muntahan keluar dari kerongkonganku, tapi syukurnya masih bisa terdengar jelas ucapan alphabetnya di telingaku. kemudian aku mengulangnya “Air bah”.

                                                                        *
Ombak terdengar marah. Selalu saja seperti itu, setiapa aku berdiri di depan laut, aku selalu merasa ombak marah kepadaku. Hari ini aku mengikat rambutku erat-erat. Aku benci dengan angin yang selalu menarik helai rambutku kesana-kemari. Perahu-perahu kecil terlihat semakin membesar di pelupuk mataku dari ujung laut. Dimana matahari yang selalu mereka bilang menghilang di ujung lautan? Apa dia tidak muncul di tempat yang sama? Aku tidak bisa melihatnya.
Beberapa orang tua dengan kulit hitam terbakar  tengah menarik tali besar dari laut. Mataku menyipit karna asap rokok yang kuhembus dari mulutku sendiri. Sesekali aku terbatuk. Setelah sekian lama belajar merokok aku masi saja suka tersedak dengan asap rokok sendiri.
Dua orang anak remaja jalan di depanku. mereka membawa semacam jaring yang bergulung-gulung dan di sampirkan di bahu. Dari kejauhan mereka sudah memperhatikanku. Awalnya kupikir mereka memperhatikan mobil datsunku yang warnanya mencolok sekali. Tapi, kemudian aku sadar mereka memperhatikan aku dan rokokku.
Aku hanya mencoba tersenyum seramah mungkin. Soal rokok tidak usah diambil pusing lah. Toh, tidak ada yang membuat rokok menjadi berbeda jika di hisap oleh wanita. Mereka masih sama-sama di hisap dari mulut, lagian laki-laki dan wanita apa bedanya? Mereka sama-sama punya  paru-paru yang bisa kapan saja mereka kecewakan. Mereka punya segala hal yang bisa mereka kecewakan.
Kemudian aku  memutuskan untuk duduk. Membiarkan jumpsuit merah jambuku beradu dengan pasir pantai. Biarkan saja kotor, aku punya selusin lagi di rumah. Setelah mereka menjual suaraku mereka sering memberiku barang-barang bagus untuk menyumpal lobang-lobang yang mereka buat pada diriku.
Oh ya, omong- omong aku terfikir lagi dengan alasan yang pernah setengah mati aku pikirkan hari itu tadi pagi untuk pertama kalinya. ‘Air Bah’ itu yang kemudian meluncur seperti suara muntahan dari kerongkonganku. Setelah malam itu aku meminum kafein lima gelas sehari tapi malah tertidur seperti orang mati setelahnya. Tapi aku belum menemukan penjelasan selanjutnya.
Belakangan ini aku merasa tubuhku seperti melakukan perlawanan tak kasat mata yang sering membuatku sedih. Saat aku berada di depan cermin mataku seperti menangis tanpa kuminta. Saat lagi-lagi mereka meminta suaraku untuk dijual bibirku seperti berkata-kata hal-hal yang menyedihkan. Setiap aku berfikir akan seperti apa aku besok otakku malah seperti menyeretku jauh sekali ke hari kemarin.
Aku harus akui, banyak ideologi mereka yang harus dijalankan pada diriku. aku selalu memenuhi kehendak mereka dengan smepurna. Mereka yang berhak memutuskan kapan aku harus tidur dan bangun. Kapan aku harus mandi. Kapan aku harus makan. Kapan aku harus berjalan. Kapan aku harus tertawa. Kapan aku harus menangis. Dan kapan aku harus kecewa.
Mereka yang memilih jumsuit mana yang harus kupakai saat hari minggu. Lipstik warna apa yang harus kupakai. Model rambutku di ganti seminggu sekali. minggu lalu aku punya rambut warna kuning mencolok. Beberapa bulan lalu aku pernah punya rambut yang seperti tentara.
Aku sempat berfikir, apa aku lahir dari ‘Mereka?’ saking minimnya ingatanku tentang aku sebelum memakai baju bergambar penyanyi rock Amerika tahun 60-an dan terombang ambing di laut lepas. Sesekali aku sering mendengar seseorang menangis dalam kepalaku. Tangisnya menyedihkan. Dua tahun belakangan, suara tangis itu semakin sering muncul dalam kepalaku. Semakin hari, aku semakin simpati pada si-pemilik suara. Aku ingin tahu siapa dia, kenapa dia menangis, dan mengapa dia menangis dalam kepalaku. Aku tidak marah, hanya saja aku tidak ingin dia nangis, bertemanlah denganku.
Suatu hari ditengah malam,  saat suara tangisannya memenuhi kepalaku hampir seperti air tanggul yang hampir meluap, aku berguling- guling dilantai kamar sambil menutupi kedua telingaku. Dadaku kembang kempis, sedang urat kepalaku berdenyut-denyut. Setan mana yang sudah merasuki kepalaku dan menangis siang-malam? Apa tidak bisa dia pergi dan merasuki perempuan lain selain aku.
Singkat kata, aku memutuskan untuk bicara dengannya “Siapa sih kau? Kenapa menangis dalam kepalaku?”
Suara ponselku berdering satu kali di atas ranjang. Layarnya memantulkan cahaya kemudian redup kembali. Sempat terfikir untuk mengambil ponsel dan menelfon siapa saja untuk minta tolong. Tapi kemudian niat itu kuurungkan. Bisa-bisa aku disangka gila, kemudian di bawa kerumah sakit hewan buat di bedah kepalanya.
“Siapa kau?”  tanyaku lagi
“Kau tidak kenal aku?” aku terkejut saat seperti mendengar suara tangis itu berubah menjadi sosok yang bisa berkomunikasi Oral. Spontan membuat letak dudukku berubah. Dari yang berguling-guling di lantai menjadi duduk bersila dengan tulang belakang yang berdiri lurus.
“Kau bisa bicara?”
“Tentu” jawabnya. Aku mengedip-nedipkan mata. Takjub dengan apa yang baru saja terjadi. Seketika aku merasa seperti tokoh dalam buku The Host karangan Stephanie Meyer yang pernah kubaca tahun lalu. Buku itu dihadiahkan seorang teman penjaga rumah yang sering kuajak bicara. Untuk seorang penjaga rumah, dia cukup pintar dan menarik untuk diajak bicara. Buku itu menceritakan tentang alien yang menginvasi tubuh manusia.
Aku ingat tokoh utamanya Melanie Stryder yang tubuhnya jatuh dari sebuah gedung dan tidak hancur. Kemudian para Healer memasukkan alien kedalam tubuhnya. Cepat-cepat aku lari menuju cermin, mengecek retina mataku. Takutnya ada orag gila yang sudah memasukkan alien kedalam tubuhku saat aku sedang tidur. Alien suka menangis. Tapi tidak ada cincin putih sekitaran retinaku. Retinaku masih terlihat bulat, hitam, dan besar.
Pantulan diriku didalam cermin seperti melihatku aneh. Sebenarnya itu yang selalu kurasakan setiap berdiri didepan cermin. Aku merasa pantulanku selalu mengerutkan kening saat melihat aku yang berada di luar cermin. Seperti ada semacam kotoran kuda di wajahku. Pantulan itu seperti melihat penuh jijik. Jadi, aku tidak pernah tahu persis bagaimana wajahku saat didepan cermin, saat aku tertawa , wajah di cermin masih saja mengerut masam.
“Jadi, apa kau semacam alien seperi dalam buku The Host?” sambungku lagi. Suara itu terdengar tengah menarik-narik ingusnya. Suara tarikan ingus memenuhi kepalaku saat ini.
“Bukan”
“Lalu?”
“Cari tahu saja sendiri”
Cihh, sudah menangis dalam kepalaku dan menarik ingus keras-keras masi bisa sombong. makhluk macam apa sih ini.
“Jadi kenapa dalam kepalaku? kenapa tidak cari saja perempuan cantik lain?’
“Jadi kau merasa cantik?”
“Tidak juga sih”
“Kau menangis sudah bertahun-tahun di dalam sana, kau ingin sesuatu atau apa?”
“Aku sudah coba bicara tapi kau tidak paham”
“Bicara apanya? Kapan?”
“Tubuhmu yang melakukan perlawanan, kau ingat?”
“Oh, jadi itu ulahmu? Kau sudah hampir membuat mereka membunuhku saat meracau ini-itu saat seharusnya aku menyanyi”
“Aku sengaja”
ingin sekali kupukul jidatnya, tapi setelah kupikir dua kali jika ingin memukul jidatnya berarti aku harus memukul kepalaku keras-keras. Karna sosok Suara itu berada di suatu tempat dalam kepalaku.
“Bagaimana aku bisa cari tahu kau siapa? Dengan membongkar otakku?” kuperhatikan baik-baik pantulan bibirku yang bergerak naik-turun, melebar dan mengerucut di depan cermin. Lucu juga bicara sendiri di depan cermin.
“Laut” Jawabnya
“Apa?”
“Laut”
“Bagaimana kau tahu aku suka laut?”
“Klu pertamamu laut”
“Ok, baiklah”
“Dan satu lagi, coba cari tahu alasan kenapa kau begitu suka laut”

Begitulah percakapan perdanaku yang tandas dalam hitungan menit saja bersama si-alien-cengeng dalam kepalaku. sebenarnya gagasan mencari alasan mengapa aku suka laut itu datang bukan murni dari keinginanku, semakin hari aku semakin penasaran dengan klu yang diberikan si-alien. Asik juga pikirku jika aku bisa menuntaskan persoalan yang diberikan oleh kepalaku sendiri.

                                                            *


Aku kembali lagi ke laut hari ini seperti pagi itu. Tapi hari ini tidak pergi sepagi waktu itu. jadi, sudah terlihat pantulan matahari terbit di ujung laut. Aku memakai jumpsuit jeans semata kaki warna biru gelap. Omong-omong aku suka sekali memakai jumpsuit, ya?. Seperti biasa, aku pergi dengan datsunku, duduk di pantai sambil menghisap rokok.
Kau ingat, kan, hari pertama kali aku memikirkan ‘Air Bah’ sambil duduk diatas pasir laut?  sejak hari itu banyak gambar-gambar muncul di kepalaku seperti film yang putus-putus. Cuplikan-cuplikan yang cepat-cepat berganti dari satu adegan ke adegan lainnya. Dan, omong- omong soal alien, dia sudah jarang muncul belakangn ini.
Rokokku habis, aku butuh batangan rokok lagi. Jadi, kurogoh saku jumsuitku hingga menemukan sebungkus kotak rokok warna putih. Jari-jari kakiku berlumuran pasir laut. Sendal kucampakkan didalam mobil dan keluar dengan bertelanjang kaki tadi. Matahari pelan-pelan mulai naik. Orang-orang yang berlalu lalang didepanku semakin banyak. Semakin banyak yang lewat, semakin banyak yang melempar pandangan padaku, pada rokokku, juga datsun mencolok yang kusandari.

26 Desember saat kejadian itu terjadi. Air bah meluap entah dari mana, menggulung hingga permukaan padat penduduk. Aku terombang-ambing di antara segala reruntuhan bangunan dan benda-benda lainnya yang tidak pernah terpikir olehmu. Tulang belakangku terbentur berkali-kali. Tanganku tersayat-sayat entah dengan apa. Kurasa aku sudah mati, naumun ketika masih bisa terjaga aku malah terapung di atas sebuah pokok kayu di laut lepas. Aku sudah menelan satu liter lumpur saat itu, jadi merasa lemas dan tidak berdaya. Aku ingat, saat itu aku memakai baju kaus bergambar  penyanyi Rock Amerika tahun 60-an.
Setelah itu ‘Mereka’ mengadopsiku. Mengeluarkan lumpur yang sudah kutelan dan mengobati ususku yang hampir busuk. Menjahit luka-luka di seluruh lenganku. Mengobati tulang belakangku dengan baik. Merawatku dengan begitu manusiawi hari itu dan membuatku membayar semuanya di hari berikutnya.
Mereka membentukku kembali dari awal. Menghancurkan bentuk awalku dan menempa bentuk baru. memolesku dengan segala cara untuk kemudian menjadikanku seperti yang ‘Mereka’ minta. Boleh dibilang ‘Mereka’ seperti alien yang ada dalam buku The Host.
Pada dasarnya, aku persis seperti Melanie Stryder. Tokoh dalam buku The Host yang pernah kubaca. Berperang dengan sesuatu yang mengambil alih tubuhku selama bertahun-tahun. Hanya saja, aku berperang dengan diriku sendiri. Diriku yang lama dan diriku yang baru.
Setelah cuplikan-cuplikan itu menyatu seperti rantai DNA dalam kepalaku, tiba-tiba aku menangis. Sekarang aku menerima dua jenis Zat yang masing-masing membentuk diriku. diriku yang lama dan diriku yang baru. Melahirkanku dua kali bukan hal yang sulit mungkin bagi mereka, tapi bagiku terlahir dua kali seperti menelan genosida.
Untuk pertama kali sejauh yang mampuku ingat, aku menangis dengan begitu khidmat. Aku menangis atas kehendakku sendiri. Untuk pertama kali aku sadar bahwa air mata terasa hangat saat menyentuh pipi, dan ingus merupakan bagian paling mendominasi saat kau menangis.
Ombak marah lagi, bergulung-gulung di depanku. Seperti ingin berlari kearahku tapi kemudian hancur di bibir pantai. Seperti mereka mengulur tangan-tangan yang tidak akan pernah sampai kemana-mana. Sekarang ombak terlihat seperti jalanku untuk pulang. Aku ingin marah, tapi angin meredam teriakanku.






“DON’T LET SOCIETY LABEL YOU”

Kamis, 09 Juli 2015

Dia

Kadang-kadang aku suka berfikir sendiri, andai saja aku bisa menemui waktunya didepanku atau aku mungkin saja bisa membuat waktu itu sendiri, aku ingin mengatakan banyak hal pada Laki-laki itu.
Seperti ini;
“Aku minta maaf . Setelah kupikir-pikir aku lucu sekali saat bicara denganmu dulu. Aku aneh, lucu sekaligus memalukan deh kalau dipikir-pikir. Pembicaraanku suka berbelok dari pembicaraan yang kau mulai. Tetapi kau selalu saja membuat semua kedaan menjadi aset sempurna yang kumiliki sampai saat ini.
Benar seperti katamu, aku tak lebih seperti boneka yang disimpan dalam lemari kaca dengan maksud baik malah kemudian menendang-nendang, menabrak sana-sini pemiliknya sendiri. Membuat sipemilik jengah ataupun ragu untuk merawat kembali boneka kesayangannya, dan kemudian aku harus disumbangkan kesuatu tempat dengan berat hati.
Setelah kupikir-pikir mungkin kau ada benarnya juga, aku mungkin boneka gagal atau rusak atau setengah jadi. Untuk itu terimakasih sudah pernah menyimpanku dalam lemari kacamu. Aku percaya, kita tidak pernah saling melupakan satu sama lain.
Kalau ingat-ingat semua yang sudah berlalu aku jadi tersenyum dan malu sendiri, aku bodoh sekali di depanmu, ya?`
Tapi, yah bagus begitu, dengan begitu aku sudah menyerahkan hal buruk dari diriku diawal pertemuan padamu, dan kau menerimanya walau kemudian kita harus…. Berhenti.
Kau tahu, aku selalu membayangkan hari yang sering kita bicarakan. Hari ke-empat dalam bulan September. Kau pasti ingat, kan? 
Entahlah, aku selalu ingin hari itu benar-benar terjadi, jadi aku selalu duduk di suatu tempat yang memungkinkan kita untuk bertemu di hari ke-empat dalam bulan September menunggumu, menunggu waktu yang selalu kita bicarakan.
Aku  sering memikirkan perumpaman untuk diriku sendiri, tapi setiap kali memikirkan kata-katanya, kosa kata dalam otakku malah menghilang tertelan sesuatu. Alhasil aku hanya kembali terduduk dan menatapi sarang laba-laba di sudut-sudut kamar.
Mungkin benar aku seperti boneka itu. boneka yang sudah lama sekali diproduksi dan duduk dalam lemari kaca. Tersenyum selebar mungkin menarik perhatian anak-anak agar mengambilku. Tapi hari dimana aku akan diadopsi oleh seorang anak tak kunjung datang, membuat mesin-mesin penyokongku berkarat dan agak susah untuk dihidupkan.
Ketika suatu hari seorang anak dengan berbaik hati melirikku dan kemudian mengadopsiku, aku kegirangan bukan kepalang. Bentuk bahagia yang tidak pernah bisa kudapat kata-kata untuk mendeskripsikannya. Jadi ketika mesinku mulai dihidupkan untuk pertama kalinya, aku jadi malah salah kaprah. Mengingat ini pertama kali aku berhasil menjadi boneka setelah dihidupkan aku malah bingung harus bersikap bagaimana selayaknya boneka. Dalam perihal mencari jati diri dari sosok yang akan menjadi boneka dan diadopsi programku malah salah menjalankan misi sampai akhirnya aku gagal. Untuk pertama kalinya dalam penantian panjang ……aku gagal. “
Mungkin begitu yang akan aku katakan pada  Laki-laki itu. Sekarang, tidak banyak yang ingin aku lakukan selain mewujudkan hari ke-empat dalam bulan September. Yah, setidaknya sekali saja dalam hitungan detikpun tidak apa-apa, lebih baik daripada tidak sama-sekali.
Aku hanya tidak ingin melakukan hal-hal lain dengan orang-orang lain. Entah bagaimana, percaya atau tidak, laki-laki itu membuatku menjadi sesuatu.
Omong-omong aku jumpa laki-laki itu 24 Maret lalu di sebuah pusat perbelanjaan. Setelah hampir dua tahun, dia masih terlihat sama seperti yang ada dalam ingatanku. Aku tidak menyapanya, dan memilih mengikutinya dari belakang seperti yang sering aku lakukan.

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post