Sabtu, 01 Januari 2022

REVIEW FILM CRUELLA (2021)

 



Cruella De Vil adalah salah satu villian Disney yang dikenal kejam suka mengumpulkan anak anjing Dalmatian untuk diambil kulitnya dan dijadikan jaket. Tokoh yang satu ini cukup nyentrik menuruku, selain rambutnya yang berwarna hitam – putih selera fashionnya pun cukup eye cathcing. Jujur, aku belum pernah menonton Cruella dalam animasi 101 Dalmation, aku baru mengenal Cruella setelah menontonnya dalam film Cruella dari aplikasi Disney+ hotstar. Film ini rilis tahun 2021 dengan bintang utama Emma Stone sicantik pacaranya Spider man.


Kali ini aku tidak akan mengomentari bagaimana acting Emma atau hal lain yang menyangkut kualitas film, ada hal lain yang menggelitikku untuk mengupasnya di sini. Sebelumnya akan kuceritakan secara singkat kisah Cruella dari dia kecil.

BACA JUGA :REVIEW MAID SERIES NETFLIX (SEASON 1)

Cruella besar bersama seorang ibu yang penuh kasih sayang, tidak punya ayah lantas tidak membuat Cruella kekurangan figur sosok orang tua. Sejak kecil dia memang sudah menunjukkan sifat grumpy, galak, dan agak kasar, namun sang ibu selalu membujuknya menjadi Estella; sosok yang tidak nakal, penurut, dan mudah bergaul. Estella kemudian di sekolahkan ketika umurnya 10, sang ibu selalu ingin anaknya jaga sikap dan berbaur. Hari pertama sekolah dia sudah di jahili oleh anak laki – laki karna rambutnya yang memiliki beda warna, walaupun kemudian dia berteman dengan Anita, anak perempuan pertama yang datang dan mengulurkan tangan untuk berkenalan dengannya.

Kehidupan Estella di sekolah sama seperti anak lainnya, tapi dia tetap menjadi bulan – bulanan murid – murid usil. Awalnya Estella menahan sistem emosinya yang mudah marah karna pesan sang ibu, namun lama – kelamaan hal itu tidak dapat dibendung, Estella akhirnya sering terjerat dalam perkelahian. Perkelahian itu yang selalu membuatnya berakhir di kantor kepala sekolah dan banyak mendapat catatan jelek di buku laporannya.

 

Hal pertama yang mencuri perhatiankku adalah orang dewasa yang tidak bersahabat: kita akan mengenyampingkan faka bahawa pada dasarnya karakter Cruell/Estella dibuat sebagai tokoh penjahat yang kasar, namun aku terusik dengan kelakukan guru Estella yang terus memberinya catatan buruk karna dia berkelahi. Sungguh, orang dewasa benar – benar lupa bahawa mereka pernah menjadi anak kecil dulunya. Sehingga menanggapi anak kecilpun harus melibatkan emosi dan logika orang dewasa. Bagi orang dewasa siapa yang lebih dominan/ lebih kuat dalam sebuah petengkaran dialah biang penyakitnya, tanpa mau mencari akar permasalahan orang dewasa kerap menghakimi anak kecil.

Pada kasus Estella, sang guru tidak pernah mau melihat dari kedua sisi, dia hanya akan melihat masalah dari sisi lawan saja, hal ini disebabkan karna Estella lebih dominan, lebih keras, dan lebih vokal dalam melawan siapapun yang mengusik hidupnya. Bagiku pribadi ini tidak adil, bukankah orang dewasa wasit yang pantas mendengar cerita dari dua belah pihak? Orang dewasa dianggap sudah memiliki pikiran yang matang untuk memutuskan sebuah masalah, tapi kenapa malah orang dewasa yang melihat anak kecil bermasalah sebagai musuh dedekut yang harus dilawan dengan kekerasan juga.

Aku pernah bekerja sebagai Subtitute Teacher ketika baru lulus dari univesitas bebeapa tahun lalu. Pengalaman mengajaku nol saat itu, aku masih terlalu muda untuk dipanggil ‘Bu Guru’ keputusanku menerima tawaran mengajar sebagai guru pengganti tidak lain adalah mengejar uang dan mengejar pengalaman. Saat itu aku mengajar disebuah sekolah SMA swasta di Medan. kuceritakan pengalamanku dari salah satu kelas yang kuajari sat itu; banyak dari mereka yang menganggapku teman sebaya. Tidak heran jika tidak ada yang mendengarkanku. Kemudian aku mulai agak tegas seolah guru paruh baya yang sudah cukup tua,  hasilnya sebagain dari mereka mulai memperhatikan dan sebagain lagi makin menjadi – jadi. Dari situ kemudian aku sadar bahwa kelas ini tidak akan pernah jalan jika emosi dilawan dengan emosi. Kuambil jalan tengah dan mulai bicara dengan mereka yang ‘membangkang’. Setelah bernegosiasi mereka kemudian angkat bicara “Kami ingin belajar sambil bermain, selalu belajar kami stress, sensei cerita aja tentang Jepang, anime Jepang, atau kita nyanyi, atau main game.” Penawarannya tidak  buruk, pemintaan mereka sederhana, mereka hanya ingin kali ini didengar. Ruang kelas kembali besemangat ketika aku menyetujui salah satu dari berbagai usulan yang mereka berikan. Menurutku keras tidak selamanya berhasil diluluhkan dengan kekerasan juga, anak kecil adalah calon orang dewasa yang ingin didengar aspirasinya.

 

 

Setelah mendapat banyak nilai buruk, Estella dan ibunya memutuskan untuk pindah ke London memulai hidup baru. Sang ibu mengunjungi seeorang di sebuah tempat pertunjukan fashion malam itu, disanalah terakhir kali Estella melihat ibunya. Hari – hari berlalu Estella tumbuh menjadi anak yatim piatu bersama dua pria tukang copet yang dikenalnya dihari dia menjadi anak yatim – piatu saat itu. Dalam kepalanya hanya ada kenangan sang ibu yang katanya ingin menjadi designer, dan penyesalannya terhadap kematian sang ibu yang dianggap karna ulahnya.

Estella menjalani hidupnya sebisa mungkin dengan bakat design yang luar biasa. Singkat cerita dia bekerja disebuah pusat fashion ternama london tahun 70-an. Dari sana dia mengawali karirnya dari clenaing service hingga menjadi designer sungguhan untuk perusahaan Baronees seorang fashion stylish ternama pada masa itu. Baroness suka dengan semua ide fresh milik Estella, seperti memberi udara baru untuk fashion linenya.

Oke, aku akan memangkas bagian ini; rahasia – rahasi yang disimpan Baroness dan alasan mengapa Estella berubah menjadi Cruella dan bagaimana dia berusaha menghancurkan karir Baroness yang memiliki rahasia cukup gelap dimasa lalu. Kau bisa menontonnya langsung untuk memotong rasa pensaranmu.

Dan ini hal kedua yang menggelitikku menanggapi adegan yang disajikan dalam film ini. Orang Besar yang suka mencuri: Estella itu perancang busana yang luar biasa cemerlang idenya, dia mampu menuangkan segala keinginan Baroness ke atas kertas sketsa dan tanpa cacat sedikitpun. Semua hasil designnya dipajang, mendapat sambutan yang luar biasa dari para sosialita kaya, tapi yang diagungkan malah Baroness. Padahal wanita itu tidak berkonstribusi apapun dalam proses gambar, merancang, memilih kain, menjahit, menempel manik – manik, bergadang, dia hanya terima beres menampilkannya di depan umum. Semua penghargaan itu masuk kekantognya tanpa ada yang tahu siapa yang berjasa dalam menempel manik – manik baju tersebut.

Oke, aku setuju dengan pendapat ‘Baroness kan yang punya perusahaan, dia yang menggaji dan mendanai semuanya.’ Ya, tidak salah lagi dia adalah sumber uangnya, tapi sejauh yang aku tonton dia bersikap se-enaknya saja pada semua manusia disekitarnya. Mereka itu menijijikan dan Baroness berpendapat bahwa dia paling hebat. Berkata maaf atau berterimakasih akan membuatmu terlihat seperti pecundang menurut Baroness.

Ini fenomena tidak asing yang sudah sering aku temui ketika aku beranjak tua dan semakin dekat dengan kematian. Tak jarang orang – orang tidak diapresiasi atas pekerjaan mereka yang membawa keuntungan besar kepada perusahaan. Tidak ada bonus, tidak ada tambahan gaji, tidak ada apresiasi. Padahal sistem yang berjalan selayaknya yang diinginkan perusahaan terujud karna para karyawan yang bekerja siang malam memenuhi target. Perusahaan untung, untungnya tidak dibaig rata, perusahaan rugi karyawan harus diajak untuk mengerti keadaan. Sakit.

Seorang temanku yang pintar gambar dan sering menjadikan gambarnya sebagai hasil pemasukan pasif mengatakan bahwa permintaan gambar itu cukup banyak, tapi harga yang ditawarkan selalu lebih rendah, seolah perihal menggambar adalah hal yang gampang dan tidak makan waktu. Oleh karnanya dia kadang menghentikan gambar dan memilih kembali menjadi budak koorporat. Susah sekali memang mendapat penghargaan dalam bidang kerja kreatif di Negara ini.

Belum lagi dimanipulasi dengan skema toxic productivity; semakin lama jam kerja kamu maka semakin produktif dirimu. Ini ungkapan paling sakit yang pernah aku dengar, meletakkan hal lain nomor satu setelah dirimu sendiri adalah toxic bukan productive. Produktif itu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan di manfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Manusia Produktif adalah manusia cerdas yang memiliki kualitas berbeda dari yang lain. Kecerdasan itu datang dari otak, jadi otaklah sistem pusat yang seharusnya di perhatikan kesehatannya; kesehatan otak, nutrisi otak, istirahat otak. Dan bekerja selama mungkin bukan buat otak semakin terasah, tapi semakin membunuh otak perlahan – lahan.

Dari Cruella, aku sadar betapa banyak orang cerdas diluar sana yang tidak dihargai dengan pantas. Tidak jarang dari mereka menyerah dengan potensi yang mereka punya, atau bermain kotor dan picik menggunakan kecerdasaan mereka pada akhirnya. Yang mengalami fenomena “Kurang diapresiasi” ini tidak hanya aku atau segelintir orang saja tapi banyak. Jadi, mungkin dari pengalaman asam yang kita pernah rasakan, kita bisa lebih peka untuk tidak memberi pengalaman yang sama ke orang lain.

Cruella film Disney rekomendasiku kali ini. Kalian juga harus nonton. Terimkasih sudah mampir, salam hangat dari kerajaan yang jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post