Kamis, 26 Januari 2017

Berbahagialah, Murf (Short Story)

Writen By Azhari  

Karena seharusnya sebelum pergi kau harus meminta pada setiap orang yang kau tinggalkan untuk tetap berbahagia tanpa dirimu.

Sepasang kekasih di depan mataku membuat kepalaku rasanya ingin pecah dengan segala desakan kenangan dan emosi. Aku sudah menengak dua puluh kaleng Bir sambil mengenakan setelan termahal yang aku beli kemarin untuk menghadiri pernikahan ke dua mantan istriku. Kubeli dengan harga satu bulan gajiku bekerja di perusahaan periklanan tolol. Kubeli hanya untuk menghormati pestanya yang megah dan meriah.
Dia menemukanku kembali setelah dua tahun perceraian kami. Alasannya adalah untuk mengundangku pada pernikahannya dengan laki- laki brengsek yang pasti akan sangat kubenci. Aku tidak mengerti entah maksudnya hanya untuk menambah kepaharan ledakan yang terjadi pada diriku atau ada hal lain. Aku sempat berfikir wanita yang pernah kunikahi ini begitu brengsek ternyata. Tetapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang pernah kukatakan padanya dulu. “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti.” dan dia menjawab tantanganku beberapa hari lalu dengan membawa undangan pernikahannya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi yag pernah kami datangi ketika masih bersama dulu. Dia memakai dress warna merah muda tanpa lengan, rambutnya tergerai dibalik bahunya. Melihatnya seperti melihat hantu yang jadi kenyataan.
“Susah sekali menemukanmu.” Katanya
“Aku sedang berhenti hidup belakangan ini.” aku tidak berkmaksud sinis. Tetapi kata- kataku malah terdengar seperti desingan parang yang sedang di asah. Mantan istriku mengulum senyum tipis. Entah dia merasa sakit hati atau tidak.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini.” disodorkan selembar undangan dalam balutan plastik licin. “Undangan pernikahanku.”
“Jauh- jauh mencariku hanya untuk memberikan ini?”
“Iya.”
“Haha, kau tidak usah repot- repot lah. “
“Kau yang memintaku dulu.”  katanya . “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti. Seperti itu permintaanmu, kan?”
Dan dia ingin bilang bahwa dia begitu bahagia sekarang tanpa diriku?
Kuambil undangannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke dalam tas kerja, berdesakan dengan berkas- berkas pekerjaanku yang tidak pernah habis.
“Terimakasih sudah memberitahuku bahwa kau sudah bahagia sekarang.” aku menyesap kopi, seolah ini percakapan santai yang bisa di selangi dengan sesapan kopi. “Tapi sebenarnya kau tidak perlu memenuhi permintaan itu.”
“Harus.”
“Mengapa?”
“Ini terjadi karna dirimu.”
Aku mengerutkan kening.
“Jika tidak gagal bersamamu aku tidak akan sampai pada tahap ini.”
Gagal? Aku mengulang kata- kata itu dalam kepalaku ratusan kali dengan kecepatan bintang. Mendapati kenyataan bahwa kau hanyalah sebuah kegagalan yang menuntun seseorang pada kebahagiannya adalah cara tercepat untuk bunuh diri.
Dia pernah mengatakan padaku bahwa perceraian harus terjadi karna cinta tidak cukup untuk menampung kami berdua. “ Yang kita miliki hanya ingatan bahwa kita pernah jatuh cinta dan itu tidak cukup untuk menjadi alasan mempertahankan ribuan ketidak cocokan yang kita miliki satu sama lain. Kita hanya selalu bertabrakan dan menyakiti diri masing- masing. Dan aku tidak ingin menjadi penyakit untuk siapapun terutama dirimu.” setelah itu kami bercerai. Sesingkat itu.
“Andai saja kita tidak gagal.” Kataku setengah tertawa.
“Terkadang ada yang harus kita ikhlaskan karna tidak semua hal bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga harus realistis.”
Dan perasaanku yang jatuh pada dirinya bukanlah hal yang realistis.
Aku tidak bisa menjawab apapun. Yang kulakukan adalah menyelamatkan sisa- sisa kekuatan untuk menyambung kehidupan setelah keluar dari kedai kopi ini nanti. Aku tidak pernah membayangkan hari ini datang seperti ledakan bom bunuh diri yang disematkan di dalam sela- sela arteri atau jantungku.
“Aku tidak bermaksud memperparah ledakan yang terjadi padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berusaha berbahagia seperti yang pernah kau minta, dan begitu juga yang kuinginkan darimu. Jika keduanya dari kita berhenti menjadi orang yang bahagia maka kita akan hanya menjadi penyakit untuk satu sama lain. Dan aku benci itu.” katanya sambil menggenggam tanganku erat sekali.
“Jika kita adalah dua orang yang tidak bahagia ketika bersama, setidaknya kita bisa menjadi dua orang yang bahagia ketika tidak bersama.”
“Berbahagialah, Murf…”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post