Writen By Azhari
Karena seharusnya
sebelum pergi kau harus meminta pada setiap orang yang kau tinggalkan untuk
tetap berbahagia tanpa dirimu.
Sepasang kekasih di depan mataku membuat kepalaku
rasanya ingin pecah dengan segala desakan kenangan dan emosi. Aku sudah
menengak dua puluh kaleng Bir sambil mengenakan setelan termahal yang aku beli
kemarin untuk menghadiri pernikahan ke dua mantan istriku. Kubeli dengan harga
satu bulan gajiku bekerja di perusahaan periklanan tolol. Kubeli hanya untuk
menghormati pestanya yang megah dan meriah.
Dia menemukanku kembali setelah dua tahun perceraian
kami. Alasannya adalah untuk mengundangku pada pernikahannya dengan laki- laki
brengsek yang pasti akan sangat kubenci. Aku tidak mengerti entah maksudnya
hanya untuk menambah kepaharan ledakan yang terjadi pada diriku atau ada hal
lain. Aku sempat berfikir wanita yang pernah kunikahi ini begitu brengsek
ternyata. Tetapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang pernah kukatakan
padanya dulu. “Katakan padaku jika kau sudah bahagia suatu hari nanti.” dan dia
menjawab tantanganku beberapa hari lalu dengan membawa undangan pernikahannya.
Kami bertemu di sebuah kedai kopi yag pernah kami
datangi ketika masih bersama dulu. Dia memakai dress warna merah muda tanpa
lengan, rambutnya tergerai dibalik bahunya. Melihatnya seperti melihat hantu
yang jadi kenyataan.
“Susah sekali menemukanmu.” Katanya
“Aku sedang berhenti hidup belakangan ini.” aku tidak
berkmaksud sinis. Tetapi kata- kataku malah terdengar seperti desingan parang
yang sedang di asah. Mantan istriku mengulum senyum tipis. Entah dia merasa
sakit hati atau tidak.
“Aku hanya ingin memberikanmu ini.” disodorkan
selembar undangan dalam balutan plastik licin. “Undangan pernikahanku.”
“Jauh- jauh mencariku hanya untuk memberikan ini?”
“Iya.”
“Haha, kau tidak usah repot- repot lah. “
“Kau yang memintaku dulu.” katanya . “Katakan padaku jika kau sudah
bahagia suatu hari nanti. Seperti itu permintaanmu, kan?”
Dan dia ingin bilang bahwa dia begitu bahagia sekarang
tanpa diriku?
Kuambil undangannya tanpa menjawab. Kumasukkan ke
dalam tas kerja, berdesakan dengan berkas- berkas pekerjaanku yang tidak pernah
habis.
“Terimakasih sudah memberitahuku bahwa kau sudah
bahagia sekarang.” aku menyesap kopi, seolah ini percakapan santai yang bisa di
selangi dengan sesapan kopi. “Tapi sebenarnya kau tidak perlu memenuhi
permintaan itu.”
“Harus.”
“Mengapa?”
“Ini terjadi karna dirimu.”
Aku mengerutkan kening.
“Jika tidak gagal bersamamu aku tidak akan sampai pada
tahap ini.”
Gagal? Aku mengulang kata- kata itu dalam kepalaku ratusan
kali dengan kecepatan bintang. Mendapati kenyataan bahwa kau hanyalah sebuah
kegagalan yang menuntun seseorang pada kebahagiannya adalah cara tercepat untuk
bunuh diri.
Dia pernah mengatakan padaku bahwa perceraian harus
terjadi karna cinta tidak cukup untuk menampung kami berdua. “ Yang kita miliki
hanya ingatan bahwa kita pernah jatuh cinta dan itu tidak cukup untuk menjadi
alasan mempertahankan ribuan ketidak cocokan yang kita miliki satu sama lain.
Kita hanya selalu bertabrakan dan menyakiti diri masing- masing. Dan aku tidak
ingin menjadi penyakit untuk siapapun terutama dirimu.” setelah itu kami
bercerai. Sesingkat itu.
“Andai saja kita tidak gagal.” Kataku setengah
tertawa.
“Terkadang ada yang harus kita ikhlaskan karna tidak
semua hal bisa dipaksakan. Jatuh cinta juga harus realistis.”
Dan perasaanku yang jatuh pada dirinya bukanlah hal
yang realistis.
Aku tidak bisa menjawab apapun. Yang kulakukan adalah
menyelamatkan sisa- sisa kekuatan untuk menyambung kehidupan setelah keluar
dari kedai kopi ini nanti. Aku tidak pernah membayangkan hari ini datang
seperti ledakan bom bunuh diri yang disematkan di dalam sela- sela arteri atau
jantungku.
“Aku tidak bermaksud memperparah ledakan yang terjadi
padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku berusaha berbahagia seperti yang
pernah kau minta, dan begitu juga yang kuinginkan darimu. Jika keduanya dari
kita berhenti menjadi orang yang bahagia maka kita akan hanya menjadi penyakit
untuk satu sama lain. Dan aku benci itu.” katanya sambil menggenggam tanganku
erat sekali.
“Jika kita adalah dua orang yang tidak bahagia ketika bersama, setidaknya kita bisa menjadi
dua orang yang bahagia ketika tidak
bersama.”
“Berbahagialah, Murf…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar