Belajar hidup dari kucing. Judulnya terdengar aneh mungkin, tapi entah kenapa kau merasa banyak pelajaran yang aku dapatkan dari kucing ini. Dan tiba – tiba saja ketika sedang mendengarkan lagu Sterss Out milik Twenty One Pilot ide ini tercetus dalam kepalaku. Karena rindu mungkin, makanya aku ingin menulis sesuatu agar Lui (begitu aku menyebut kucing itu) tertinggal di suatu tempat dalam hidupku dalam waktu yang lama. Dan tulisan ini untuk Lui dan untuk semua pejuang animal lover yang pasti juga belajar banyak dari menyelamatkan binatang.
Aku bukan animal rescue, tapi hanya karna kau bukan
seorang animal rescue bukan berarti kau tidak berhak menolong sesama makhluk
hidup, kan? Lagi pula atas nama kucing
aku sering tidak bisa menahan diri. Kebiasaanku memelihara kucing sudah sejak
usia 5. Setelah ibuku memeberi izin untuk memelihara peliharaan, kamii mulai
mengangkat anak kucing untuk menjadi teman di rumah. Jika di hitung kucing yang
sudah kami angkat dari sejak aku usia 5 sampai sekrang 23 –errrr—1,2,4… entah
lah, yang pastinya aku hanya diperbolehkan memelihara satu kucing tidak boleh
lebih, dan harus selalu di jaga kebersihanya walapun di lepas main ke luar
rumah, harus perduli kalau kucingnya sakit atau luka, gak bole mager buat
bangun ngasi dia makan. Kata ibu “Memelihara kucing, sama halnya kaya ibu
ngurusin kamu, kucing juga butuh makan.” hehe. Saat ini kami punya satu kucing
Jantan yang hobinya main sana – sini. Sejak kuliah dan tinggal jauh dari rumah,
Bolang (begiu aku panggil kucing jantan kami sekarang) di urus oleh orang
rumah. Orang yang paling dekat dengan Bolang itu ayah, jadi tiap aku pulang dia
ngendus – ngendus gak kenal trus ngeraung marah suru aku jauh – jauh. Fine!
Ok, kembali pada Lui, kucing yang aku jumpa satu bulan
lalu dipinggir jalan dalam keadaan luka parah. Kedua kaki belakangnya patah dan
tidak berfungsi lagi. Jadi, Lui hanya menggunakan kedua kaki depannya untuk
menyeret badannya ke sana – ke mari. Lui punya bulu putih lembut, jenis persia,
matanya berwarna biru dan kuning, ekornya panjang lurus dan sudah lumpuh saat
itu. Terbaring di pinggir jala dengan keadaan seperti itu membuatku tidak pikir
dua kali untuk memungutnya. Alahasil aku bawa dia dengan cara di gendong, Jalan sampe kosan sampai orang – orang ngeliatin
di sepanjang jalan. Keputusan mengambil Lui memang benar – benar tidak di pikir
matang – matang, aku bahkan mengenyampingkan realita bahwa aku sekara tinggal
di kamar kontrakan yang share bareng teman. Tetap tidak mengubah keputusan aku
terus melanjutkan jalan sampai ke kos. Selama dalam perjalanan Lui tidak banyak
bersuara, tangannya saja yang mencakar – cakar jari – jariku.
Sampai di kos, karena tidak ada pilihan lain Luik kuletakkan
dalam kotak. Keadaannya memang parah. Setengah badannya memang benar – benar hilang
fungsi, dia hanya bisa berbaring ke arah mana aku membaringkannya. Sesekali cakar
– cakarnya yang kecil menggaruk – garuk dinding kotak, aku tahu dia kesakitan. Kuelus
kepalanya, dia tidak bersuara, hanya gerakan – gerakan kecil yang menunjukkan
dia kesakitan. Matanya terpejam dan masih tidak bersuara.
Beberapa hari kemudian keadaannya membaik, sudah mau
makan – minum, bersaura namun tetap kesakitan. Setiap kali aku mendekat dia selalu
melihatku dengan tatapan waspada. Rasa traumanya pada sesuatu yang sudah
menbraknya mungkin belum sepenuhnya hilang. Seperti kataku, setengah badannya
tidak berfungsi yang mana berarti dia tidak mampu berdiri sempurna dan bahakan
sulit untuk melakukan pembuangan, singkatnya aku yang harus nge-cek tiap kali
apa yang terjadi pada Lui, mengganti kain alas tidurnya jika sudah basah atau
kena pop. Dari situ aku belajar hal sederhana, memungut Lui seperti mengadopsi
anak, kau harus siap dengan segala resiko kedepannya. Mengurus kucing
disabilitas sama seperti mengurus seorang yang disabilitas juga. Dari sini aku
belajar tanggung jawab, aku harus memastikan Lui tetap bersih agar tidak
menimbulkan bau karena aku tidak tinggal sendirian, I share my palce with my
friend so I need to consider about her comfort too. Setiap pagi selepas bangun
dan solat ak langsung negecek Lui, di mandikan trus kasi makan, sudah sama
seperti ibu satu anak hehehe..
Singkatnya, keadaan Lui semakin baik, baik dalam arti
kata dia sudah aktif bersuara, sudah kenal dan tidak trauma kalau aku mendekat.
Setiap kali sadar aku mendekat, kepalanya nyembul dari balik kotak meong –
meong minta di elus.
Karna terus – terusan di dalam kotak Lui memberontak,
dia jengah, naluri kucingnya yang pingin lari sana – sini masih kuat banget. Jadi
dia suka manjat keluar kotak sampek jatuh kejungkir. Mengerti akan hal itu aku
pun berinisiatif membawanya ke atap (di kontrakkan ku ada bagian kosong di atap
biasanya di paka buat jemur pakaian anak – anak kos, termasuk aku). begitu di lepas
dia langsung aktif, menyeret badannya dengan kedua kaki depan sekuat tenaga. Tidak
ada yang berubah dari semangatnya, Lui masih bersemangat seperti kucing normal
walau sebenarnya secara visual dia menyedihkan. Coba bayangkan, kedua kaki
belakang yang patah dan tidak berfungis, jadi posisi Lui kalo jalan tuh kaya
ikan duyung, dia menyeret bobot badannya dengan gembira.
Dan aku berfikri, mengapa kita tidak bisa se- gembira
Lui yang menerima kenyataan lapang dada? Karna dia biantang? Menagapa binatang
bisa mensyuukuri dan kita tidak? Lui
ciptaan Tuhan dan kita juga, tapi kenapa kita masih saja mengeluh, marah,
merasa Tuhan tidak adil ketika Tuhan menganugerahkan kita setitik ujian?
Sembari menunggui Lui yang heboh menyeret badannya ke
sana ke mari, aku berdialog di dalam hati, berdialog dengan diriku sendiri,
menghitung berapa banyak keluh – kesah yang sudah aku lontarkan bahkan ketika
aku belum melakukan usaha apapun yang sepadan dengan masalah yang ada aku sudah
menyerah, merasa semuanya tidak ada guna, semuanya berakhir. Drama!
Tiba- tiba saja merasa malu, merasa malu pada seonggok
anak kucing yang sudah cacat tapi masih berusaha menjalani hidup dengan baik
sebagai bentuk syukurnya pada Tuhan karna masih diberi kesempatan untuk hidup. Malu
karna tanpa aku sadari pelajaran sederhana seperti ini saja harus kucing yang
mengajarkannya padaku. Kuakhiri dialog dengan mengakui banyak hal salah yang
baru aku sadari, bersamaan dengan itu Lui tiba – tiba menyeret badannya menuju
ke arahku, kemudian mengelus – ngelus kakiku dengan kepalanya, dalam hati aku
bilang “Aku harus curi energi bahagiamu sedikit Lu.”
*
Lui mati satu minggu lalu setelah akhirnya aku
memutuskan untuk menitipkan Lui kepda salah seorang teman dekat kuliah dulu.
Dengan keadaanku yang tinggal di kamar
kontrakkan, aku tidak bisa egois dengan mempertahankan Lui tinggal bersama. aku
meminta temanku yang kebetulan tinggal bersama keluarga dan mimiliki banyak
kucing untuk bersedia menampung Lui. Sayang, dia hanya bertahan satu minggu.
Sedih. Pasti!
Tapi setidaknya aku sudah berusaha yang terbaik dari
pada membiarkannya di pinggri jalan waktu itu. Mungkin jika kutinggalkan di
pinggir jalan Lui sudah mati dari jauh – jauh hari. Mungkin jika tidak memungut
Lui mungkin aku tidak akan pernah belajar dan menyadari apapun yang seharusnya
aku sadari dalam kehidupan.
Kadang – kadang jika kita ingin menoleh ke sekitar
sebentar saja, kita bisa saja mendapat banyak pelajaran hidup, tidak perduli
dari apa dan siapa pun itu.