Senin, 12 Desember 2016

How I behave As Indonesian Kid

Bedasarkan saran dari teman sekamar saya yang mengatakan bahwa hal yang paling kecil dalam hidupmu adalah hal yang paling baik untuk ditulis kedalam tulisan. Selain tidak akan membuang waktumu megumpulkan bahan, itu juga dapat mengingatkanmu kembali bahwa banyak kebiasan baik masa lalu yang mungkin saja kau lupakan.
Well, jika berbicara tentang masa kecil, yang terlintas didalam kepalaku adalah…. Errrrrr….adalah…errrrrrr….. (I lost memory for while) adalah belajar hal- hal kecil yang ternyata berguna sampai kapanpun dan dimanapun. Bahkan tanpa disadari hal – hal kecil tersebut kemudian berperan sebagai pembentukan jati diri dia masa depan. Sebagai seorang indonesia, yang lahir dari pencampuran Aceh, Batak ,Melayu, saya terbiasa menggunakan bahasa indonesia dari kecil (hanya ketika dewasa baru belajar menggunakan bahasa daerah). Ini juga yang kemudia menjadi alasan utama mengapa bahasa indonesia lebih dominan dalam kehidupan sehari – hari saya saat masa kanak – kanak.
Ibu dari ayah saya adalah seorang batak mandailing, dengan logatnya yang khas sangat tidak mungkin untuk berkomunikasi dengan beliau selain bahasa indoensia. Dan Nenek ayah saya adalah seorang keturunan Melayu Deli, lagi – lagi bahasa indonesia yang menjadi jembatan untuk kami berkomunikasi.
Jadi, bukan bahasa yang akan saya bahas di sini (ahhhhh kentang , hahahaha ) melainkan tatakrama saat kecil yang saya dapat dari orang tua dan keluarga saya. Semacam peraturn didalam rumah; cara bicara, cara bersikap, cara makan yang baik, cara duduk yang benar, cara berinteraksi dengan orang yang lebih tua dan sebagainya, dan jika saya boleh jujur saya bukan anak yang penurut dan baik banget, kadang – kadang Home’s rule masi sering dilanggar alhasil sering banget kena marah. well, berani kena marah itu baik!
Yang paling menarik bagi saya dalam tatakrama anak – anak di indonesia adalah; mencium punggung tangan orang yang lebih tua ketika menyalami mereka. Ingat kejadian di final dunia Danone Nation Cup di Prancis? Dimana anak – anak indonesia yang bergabung dalam U- 12 mencium punggung tangan wasit ketika mereka bersalaman. Sebagian menganggap itu kocak, tapi nyatanya itu dapat pujian. Nah, itu dia, kebiasaan yang seperti itu yang menjadi ciri khas indonesia dan hanya ada di indonesia. Tradisi mencium punggung tangan itu dilakukan atas dasar sifat hormat kepada orang yang lebih tua. Di sekolah misalnya, anak sekolah dasar biasanya akan memulai kegiatan belajar sesudah berbaris dan menyalami guru mereka dengan mencium punggung tangan. Konsep pemikirannya, mencium punggung tangan guru seperti meminta izin untuk dibimbing menjadi anak yang lebih baik dan berguna. Menghormati guru juga akan membawa keberkahan nantinya.
Seperti yang saya bilang di atas, tidak hanya guru, anak – anak biasanya akan menyalami dengan cara yang seperti itu setiap berhadapan dengan orang yang lebih tua. Seiring bertambahnya usia, kini saya tumbuh menjadi anak kecil yang dulu mencium pungung tangan orang yang lebih tua menjadi orang tua yang diciumi punggung tangannya oleh anak kecil. Well, time fly so fast dude.
Setelah dewasa saya jadi menyimpulkan kegunaan dari bertatakrama itu begitu banyak. Semakin dewasa tatakrama itu bermetamorfosis menjadi tatakrama – tatakrama lainnya. Tatakrama itu seperit ulat yang terus tumbuh dan menjadi kupu – kupu, membentuk pribadi yang baik sebagai identitas diri yang baik pula. Semakin sering kamu dididik untuk menerapkan peraturan – peraturan kehidupan seperti itu, maka semakin mudah kamu mengikuti peraturan kehidupan lainnya.
Tidak hanya mencium punggung tangan orang yang lebih tua, masih banyak tatakrama masa kecil lainnya ciri khas orang indonesia. Akan saya jelaskan lain waktu. Saya akan rajin ngepost, bair hobi menulisnya tersalurkan. Agar tidak menjadi Sarjana Sastra yang kaku.


Ma'nene Ritual; Indonesian Heritage

Kebudayaan merupakan harta berharga suatu bangsa yang didapat dari perjalanan hidup mereka, didapat dari pengalaman – pengalaman dalam hidup bersama kelompok masyarakat. Budaya kemudian diterapkan dan menjadi sebuah identitas dasar masyarakat itu sendiri.
Indonesia, merupakan negara Asia tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa yang memiliki ragam suku, bahasa, adat, dan budaya. Indonesia sendiri terdiri dari 34 provinsi dengan lebih dari 1.000 suku/etnis. Tidak heran jika adat yang dimiliki beragam macamnya. Dan kali ini saya tertarik untuk meenulis sedikit tentang kebudayaan dari suku Toraja. Toraja merupakan suku yang menetap di pegunungan bagian utara sulawesi selatan, indonesia. Populasinya diperkirakan mencapai 1 juta jiwa, yang mana 500ribu diantaranya masih menetap di kabupaten tana toraja, kabupaten toraja utara, dan kabupaten mamasa. Mayoritas dari masyarakatnya memeluk kriten dan sebagain lagi memeluk islam dan animisme yang dikenal sebagai Aluk To dolo.
Kata toraja berasal dari bahasa bugis, ro riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”. Pada tahun 1909 pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menjajah indonesia menamai suku ini dengan sebutan Toraja. Suku Toraja terkenal dengan ritual pemakaman, rumah adat tongtokan, dan ukiran kayunya.
Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang ritual pemakaman suku toraja. Sejak duduk dibangku sekolah dasar, setiap kali mebaca buku dan menemukan penjelasan tentang suku toraja, saya sangat terkesima, akan ritual dan kebudayaannya. Kemudian terbersit di dalam hati betapa indonesia ini sangat kaya sebenarnya.
Ritual pemakana suku toraja merupakan peristiwa sosial yang sangat penting, biasanya di hadiri oleh ratusan orang dan berlangsung sampai beberapa hari. Disebut dengan ritual Ma’nene, yaitu ritual mengganti baju mayat dari leluhur mereka yang sudah diawetkan ratusan tahun di dalam pemakaman yang disebut petane. Ritual ini dilakukan untuk menghormati leluhur mereka, bisanya dilakukan setelah masa panen dibulan agustus.
Ritual dimulai dengan mengunjungi pemakaman para leluhur, sebelum membuka kuburan para tokoh adat dengan sebuatan Ne’ tomina terlebih dahulu membacakan doa dalam bahasa Toraja kuno. Doa tersebut dimaksudkan untuk memohon izin kepada leluhur agar masyarakat mendapat rahmat keberkahan setiap musim tanam dan panen berlimpah. Kemudian jasad para leluhur dikeluarkan dan dibersihkan dengan kuas oleh pihak keluarga, kemudian baju mayat dilepas dan digantikan dengan baju yang baru. mayat pria akan dipakaikan setelan jas lengkap, dari dasi hinggga kaca mata.
 picture taken from : http://blog.8share.com/id/menyeramkan-tradisi-manene-di-tana-toraja/



Ritual Ma’nene ini diyakini bermula dari kisah seorang pemburu zaman dahulu bernama Pong Rumasek. Berdasarkan kisahnya Pong Rumasek yang merupakan warga Toraja menemukan jasad manusia yang sudah meninggal ketika dia berburu. Jasad yang tinggal tulang – belulang tersebut kemudian menggugah hati Pong Rumasek untuk mengambil dan merawat jasad tersebut. Kemudian ia membungkus jasad tersebut dengan pakaian yang dikenakannya sebelum kembali berburu.
Setelah kejadian itu Pong Rumasek mendapat keberuntungan dalam setiap buruannya. dia selalu mendapat binatang buruannya dengan mudah dan keajaibanpun terjadi pada hasil panennya yang berlimpah. Pong juga mengakui bahwa dia sering bertemu dengan arwah dari jasad yang dipungutnya, dan sering mengajak arwah tersbeu untuk berbubru bersama. Sejak itu Pong Ramasek menyimpulkan bahwa jasad dari seorang yang sudah meninggal harus tetap dimuliakan walaupun tinggal tulang belulang.

Oleh sebab itu, sampai saat ini ritual memuliakan jasad yang sudah meninggal tetap diselenggarakan oleh warga toraja.

Jumat, 04 Desember 2015

Untukku


UNTUKKU


Suatu hari aku pernah bertanya pada ibu mengapa namaku Putri, padahal kami tidak punya istana, ayahku tidak punya rakyat untuk dipimpin, dan ibuku tidak punya mahkota. Aku datang dan berdiri di tengah- tengah dapur ketika ibuku sedang memasak,”Mengapa namaku Putri?” kedua tangan kulipat didepan dada, biasanya orang dewasa akan melakukan hal seperti itu ketika mereka menuntut sebuah pertanyaan untuk dijawab, segera!
Ibu berputar- putar didapur seperti yang setiap hari dilakukannya untuk menyiapkan ramuan yang akan kami santap bersama- sama siang nanti. “Mengapa namaku Putri?” aku mengulang pertanyaaku dengan hidung yang kukerutkan seperti mencium bau busuk. Kemudian ibu menoleh padaku dan tertawa kecil.
“Karna aku suka dengan nama itu.” katanya sambil mencubit ujung hidungku dan berlalu menuju sepanci besar sesuatu yang mendidih di dalamnya.
“Mengapa tidak nama yang lain? seperti—“ aku berfikir sejenak mencoba merangkai nama- nama yang mungkin saja terdengar bagus untuk diriku. “Seperti Ayam, curut, bebek, angsa, monyet, kucing, atau bekantan?—“ sambung ibu ditengah- tengah kepalaku yang masih berputar untuk berfikir. “Kau mau kuberi nama seperti itu? atau Hiu atau Paus atau, oh, Tuna, kau suka Tuna, kan?”
Aku tertawa, kami berdua tertawa membayangkan bagaimana jika saja dulu namaku Ayam, atau Bekantan , atau bahkan yang lebih mengerikan Hiu. Bisa- bisa saja aku tidak diterima di sekolah manapun, atau akan menjadi karung tinju orang- orang untuk diolok-olok. Kupikir semua pertanyaanku sudah jelas terjawab sampai…… sesuatu yang sering terjadi muncul kembali dalam kepalaku.
“Tapi, mengapa harus Putri?” pertanyaan itu sudah bergulung dalam kepalaku sejak pulang sekolah tadi, dan terus memenuhi mulutku untuk segera dimuntahkan.
“Karna kau seperti seorang Putri.”
Aku menunduk, menatap jari- jari kakiku yang berkerut karna terlalu lama berkeringat didalam sepatu. Meremas-remas ujung kemeja seragam taman kanak- kanakku. “Tapi, Diana tidak berfikir seperti itu, Diana bilang aku tidak seperti Putri.” Seharusnya—persetan—dengan jin cilik itu. Seharusnya aku harus menjadi tuli ketika berhadapan dengannya. Seharusnya aku harus menendang perutnya ketika dia menjulurkan lidahnya didepanku. Seharusnya aku harus menonjok  hidungnya keras- keras sampai berdarah ketika dia mengambil mainanku dan membuang botol minumanku. Seharusnya aku…..aku…..
Kemudian ibu berjongkok didepanku, mengusap ubun-ubunku dan menarik daguku mendongak menghadapnya “Kau tahu, ketika kau lahir kami mencari nama yang cocok untukmu berhari- hari. Kami berganti nama setidaknya lima kali karna kau terus- terusan sakit dan keadaanmu memburuk. Kemudian kami menemukan nama ini, dan siang malam aku berdoa semoga saja nama ini bisa membantumu bertahan karna aku tidak ingin kehilanganmu, aku menaruh harapan terbesarku didalam nama tersebut—Putri. Dan lihatlah sekarang, siapa yang berdiri didepanku dengan baju seragam sekolah bau keringat?” ibu mengelus kepalaku lagi.
“Aku tahu kau akan bertahan bersama dengan harapanku, dan tumbuh menjadi keras kepala dan menjengkelkan, suatu hari kau akan memanjangkan rambutmu dan menumbuhi poni,suatu hari kau akan berusia 17, suatu hari kau akan kecewa dan menagis, suatu hari kau akan gagal dan berhasil, dan sebelum bahkan ketika hari- hari itu datang kau akan terus menjadi seorang Putri untukku. Diana tidak akan pernah tahu itu, karna dia hanya mencarimu didalam buku cerita; mengenakan gaun yang indah, sepatu kaca, wajah yang cantik, tidur didalam istana, sempurna. Kau tidak akan menjadi salah satu dari hal- hal tersebut, karna kau adalah dirimu dan kau melebihi dari pada itu.”
“Kau tidak akan menjadi sesuatu yang mereka putuskan, You Will become a Princess like you should be, with all of your flaw and  beautiful. Sometime, something just only can be found when we trying to feel it not see it. And you always become Princess what ever you form for me.”


nb:tulisan yang hanya sekedar tulisan, mungkin.

Kamis, 08 Oktober 2015

Letter For Summer

"You can love someone so much, but you can never love people as much as you can miss them"__John Green

I love you, i knew you knew it. You said that i should go, because you should leave. We can remember each other even we both lying in the machine time, because it was my amazing journey, your amazing journey, our amazing journey. Did you promise me that you won't forget my name? i keep thinking about that last conversation.

We are collide, and something has collide should be separate sometimes. How could i accept to have a thought like that, my brain shout out 'over' to the mirror while my heart calling out your name. How is the brain and heart become difference in same me? which one i supposed to trust between heart and brain while you walk away?

You said i deserve to be loved constantly with hungry hearts and hands out there, but why those people not you? 

i'm not trying to be dramatic drowning in you, because let me clear something here, i never plan to love you but my heart did.I hope you can understand which one i trust now.


be happy love.


always.




                          somewhere you used to know.




Senin, 14 September 2015

Perjalanan



“Cinta adalah bagian terbaik dari cerita apapun.” Aku pernah membaca kalimat ini di salah satu buku yang pernah kupinjam. Aku lupa yang mana, aku banyak meminjam buku. Membaca adalah salah satu perlindungan yang dari dulu kulakukan. Tidak punya banyak pilihan. Jika membaca kau bisa sembunyi dari Bumi dan membangun duniamu sendiri kan?  di bumi banyak alien, jadi kau harus punya dunia lain, kalau- kalau mereka menyerang kau bisa selamat dari penyerangan.
Aku mengalami tabrakan parah. Terbentur hingga bagian dalamku rusak parah. Tabrakannya terjadi ketika aku tengah dalam perjalanan yang cukup menyenangkan, tanpa sadar aku menabrak pembatas jalan. itu terjadi dua tahun lalu, tapi rasanya sudah terjadi puluhan juta tahun yang lalu dan kerusakan parahnya masih ada sampai sekarang. Bocor dimana- mana, retak, hancur, dan hal- hal mengerikan lainnya yang pernah dokter bilang di depan wajahku ketika aku tertidur.
Aku membawa kerusakan parah kemanapun; ke sekolah, toko buku, taman olah raga, pasar, super market, toko roti, rumah sakit, ke manapun. Aku tidak ingin orang lain tahu tentang kerusakan parahku. Karna mereka tidak akan mengerti bagian mana yang hancur atau bocor atau sudah copot, dan takutnya akan menambah kerusakan yang lebih parah jika kuceritakan pada mereka.
Jadi, aku tertawa sepanjang hari. Hanya pada beberapa kesempatan aku kalah dari kerusakan paraku, jadi aku menangis didalam kelas sendirian. Kalau aku nangis tidak ada yang akan menyadarinya. Orang- orang sulit menyadari apa yang sedang terjadi padaku. mereka sulit menerjemahkan kode morse yang kukirim dari satelitku, hanya beberapa orang yang memang punya hati mulia yang akan mengerti, mungkin. Lagipula, tidak masalah dengan orang- orang karna terkadang aku juga tidak ingin memahami mereka. Kajian mereka terlalu tinggi jadi sulit di mengerti olehku.
Jika kau tanya seberapa sakit kerusakan parah yang terjadi padaku, aku tidak bisa mengatakannya padamu, tidak bisa dibilang dengan skala 1-10 juga. Sakitnya berbentuk nyeri yang menjalar dengan kecepatan cahaya bintang. Sementara waktu, dokter menutup kerusakan parahku dengan gelembung tertawa yang tipis, suatu hari mungkin bisa pecah jika tidak di tolong.
Orang- orang melihatku dengan rasa kasihan yang setengah di buat- buat, atau mungkin dengan sepenuh hati, belakangan aku sulit membedakan hal- hal semacam itu. Beberapa waktu lalu, seseorang datang menemuiku ketika aku dan shoezy bermain. Katanya dia seorang Dokter, dia menawariku sebuah perbaikan atas semua kebocoran, keretakan, dan kehancuran yang terjadi bekas tabrakan. Dia dokter yang baik, setiap kali memeriksa kerusakanku dia selalu memberiku gula- gula. Jujur saja, itu hal yang menyenangkan untuk anak kecil yang habis tertabrak dan mengalami kecacatan, mungkin.
Suatu hari dia mengajukan suatu tawaran untuk mengoperasi seluruh kerusakanku. Sudah kubilang aku rusak parah, banyak onderdil yang harus diganti dan itu mungkin cukup mahal dan mungkin saja suku cadangnya sulit di dapat. Kemudian dia bilang ‘Kita bisa mengganti dengan suku cadang yang sudah ada, suku cadang sulitmu akan di ganti dengan suku cadang yang lebih mudah di dapat, yang lebih murah juga, asalkan kau bisa sama seperti anak lainnya’. Suku cadang yang murah? Yang tidak begitu berharga? Tentu. Itu saja yang mudah di dapat kan?
Kau tahu apa yang aku katakan ketika kami sampai di ruang operasi? Aku menolak mentah- mentah tawarannya. Dokter itu agak terkejut, belum ada yang menolak kemurahan hatinya selama ini. Baru aku. Dan mungkin hanya aku. Dengan kening berkerut dia berkata ‘Kenapa kau menolak kemurahan hatiku?’.
Kemudian aku menjawab ‘Ya, kau mungkin murah hati sekali. tapi aku tidak ingin di tukar dengan suku cadang yang lebih murah. Suku cadangku rusak tapi masi tetap berfungsi. Dan, satu hal, jika aku mengganti semua suku cadangku dengan suku cadang yang akan kau berikan, maka semua ingatan perjalananku yang cukup menyenangkan akan pecah, berantakan di udara, dan menghilang bersama hujan, dan aku tidak ingin itu terjadi. Anak- anak mana pun tidak akan pernah mendapati perjalanan semacam ini, bahkan mungkin kau. Karna ini perjalanan yang paling berharga.’


Minggu, 06 September 2015

Harga Mati


Kau tahu, aku pernah bodoh sekali berfikir membuang semuanya, maksudku, membuang semua yang mungkin hampir mendefinisikan keseluruhan diriku yang kecil. Yeah, seperti yang (mungkin) kau ketauhi tentangku; menulis dan bernyanyi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar sampai kapanpun. Kemudian, suatu hari(saat usiaku remaja, sekarang aku sudah dewasa, kata ibuku begitu) aku pernah ingin bertukar ‘Harga Mati’ku itu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terus- terusan keluar dari mulut jorok mereka, mengadopsi sebuah organisme baru yang bisa menginvasikan diriku. Mulut jorok mereka tidak habis- habisnya mengoceh bilang bahwa ini bisa membuatku jadi seorang Putri sungguhan.
Mungkin karena penolakan yang mereka berikan berkali- kali membuat pemikiran hina semacam itu muncul dalam kepalaku. Setelah dewasa aku baru megerti bahawa mereka itu orang tolol dengan sejumlah penolakan tolol yang mereka berikan padaku.
Suatu ketika, saat aku sedang duduk di teras rumah sambil membaca komik- komik yang di pinjam pamanku di suatu tempat yang aku tidak tahu di mana (omong-omong pamanku itu termasuk orang yang meracuniku dengan kegiatan membaca setelah ayahku) ibuku keluar, duduk si sampingku sambil kipas- kipas. Dia tanya apa yang sedang kubaca, kemudian kujawab bahwa aku sedang membaca komik gratis yang kucuri dari rak pamanku. Ibuku sempat melotot, yah, tahu saja lah, peraturan di rumah kami itu ketat seklai tentang ini- itu.
Sebenarnya saat itu dalam kepalaku sedang terjadi keributan ini- itu. Semua anggota dewan tengah melakukan rapat paripurna tentang ‘Harga Mati’ yang akan kutukar sebentar lagi. Makanya, aku baca komik paman sampai mataku mampus. Ibuku terus kipas- kipas dan kemudian bertanya, “Kenapa kau suka baca buku sih?”. Ku jawab “Gara- gara ayah.”  Sebenarnya tidak sepenuhnya ayah, ibuku juga jadi orang yang bertanggung jawab atas racun- meracuni ini. Ibu dan ayahku selalu bergerak bersama mendidik kami dengan kemampuan seadanya ketika ‘Depresi Besar’.
Ibu: kau tidak capek duduk lama dan baca?
Aku: yah, kadang bokongku sakit sih, tapi bisa tiduran sambil membaca.
Ibu: ayahmu dari dulu suka membaca, dia bilang, dia berhenti sekolah dini sekali karna suatu hal. Tapi setiap kali menemukan buku, dimanapun; di jalan, tong sampah, loakan, pabrik-pabrik, dia selalu menyelamatkannya dan di bawa pulang kerumah buat di baca. Katanya, belajar itu bisa dilakukan dimana saja asal punya kemauan.
Aku: ibu tidak suka baca?
Ibu: suka, waktu muda, aku dan ayahmu sering beli buku- buku bekas, yah walaupun jenis bacaan kami berbeda sih. Dan kemudian sirkulasi kehidupan kami berubah dan kami mulai kurang baca.
Aku: kenapa ibu tidak pernah baca buku lagi sekarang? Bersama aku. kita bisa pinjam buku atau beli yang bekas saja.
Ibu: tidak. aku tidak ingin baca buku apapun sebelum membaca buku pertamamu.
Itu semacam fenomena yang membuat jantungku berhenti berdetak sepersekian detik, dan aku tertabrak truk, terlontar ke langit kemudian terhempas di atas tanah. Hatiku hancur seketika, aku ingin menangis, tapi tidak kulakukan di depan ibu. Aku tidak percaya bagaimana bisa aku bodoh sekali selama ini. Ibu mencintai ‘Harga Mati’ku dan aku malah ingin menukarnya dengan omongan jorok mereka. bagaimana bisa aku mengkhianati cinta satu orang yang mencintaiku dalam bentuk apapun demi merebut hati ribuan orang yang tidak bisa mencintaiku seperti adanya.
Sejak hari itu aku membuat perjanjian dalam kepalaku. Memastikan semua anggota rapat paripurna mencatatnya untukku (kalau- kalau aku terserang omongan jorok lagi di masa mendatang, jadi aku punya bukti bahwa aku pernah berucap janji)  bahwa aku tidak akan menukar ‘Harga Mati’ku dengan apapun.  

Usiaku 21 sekarang. Sudah semakin pendek dari masa kontrak yang diberikan. Sebentar lagi aku akan menulis sebuah tulisan ilmiahku sendiri dan menadapatkan gelar Sarjana Humaniora. Sekarang, ketika kadang- kadang sedang duduk mengerjakan ini-itu aku suka termenunng dan memikirkan cerita lalu. Kalau saja rapat paripurnaku mengambil langkah salah, mungkin aku tidak sedang di sini sekarang. Tidak ada ‘Harga Mati’ apapun yang duduk di sebelahku setiap kali di dalam bus.
Omongan  jorok semakin banyak saja saban hari. Melelahkan memang. Tapi setiap kali ingin jatuh tenggelam di samudra pasifik, aku selalu teringat percakapan ibu. Cuma itu satu- satunya alasan untuk terus jalan di atas omongan  jorok  yang lengket dan menempel di sol sepatuku (susah sekali di cuci).

Mereka hampir membuatku membunuh diriku sendiri dulu, kan?

Sabtu, 22 Agustus 2015

Cerita Tanpa Titik



Prime memegang sekeping logam di tangan kirinya. Pria itu duduk tanpa melepas jaket kulitnya saat jam belajar. Aku bisa melihat ketidakpeduliannya pada apapun sejak pertama kali aku melihatnya. Penggunaan katanya yang hemat sekali, juga kontak fisiknya yang sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Sejauh ini dia tidak pernah menunjukkan apapun tentangnya, keahliannya, kesukaannya, kebenciannya, dan kemurungannya. Semuanya terasa abu- abu dan dia terlihat begitu tenang seperti air danau. Bagi Prime, duduk di bangku paling belakang tidak pernah menjadi masalah. Duduk di mana pun tidak pernah dipermasalahkan olehnya. Kursinya selalu terlihat dingin dan berembun.
Kami tidak pernah bicara. Tetapi, sesekali jika ada kesempatan aku sering memperhatikannya. Memperhatikan bagaimana dia mengedipkan mata dan sesekali memejam dalam waktu yang lama. Jika sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, Prime selalu berhasil menangkapku. Dan kami tengelam dalam diam, bersembunyi dari balik dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki. Jika terjadi percakapan, itu hanya kami lakukan dengan bahasa mata atau tarikan nafas.
Prime tidak pernah berpengaruh dalam apapun. Tidak dalam hal positif atau negatif. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan dia bodoh. Harus kuakui kepintarannya dalam memahami Shakespeare mendahului siapapun, tetap saja, dia tidak suka disuruh mengarang untuk lomba sekolah.
Sekarang kepingan logam itu beegelinding di buku- buku jarinya. Sempat menjadi pertanyaanku mengapa dia terus bermain dengan kepingan logam itu sepanjang hari ini. Aku tidak perlu bertanya pada Prime, urusanku lebih banyak dibanding mengurusi kepingan logam Prime.
Ketika Bu Dodds menulis Integral di papan tulis, aku tergoda lagi untuk berbalik ke belakang dan melihatnya. Entah mengapa, Prime terlihat begitu misterius hari ini. Begitu menyulut rasa penasaran juga prihatinku dalam waktu bersamaan. Beberapa kali aku mengatur waktu yang tepat agar tidak ketahuan Bu Dodds. Tetapi bermain di jam pelajaran Bu Dodds adalah keputusan yang salah. “Violet” suara wanita itu menggema memantul dari meja- meja yang menegang. Seisi kelas menghakimiku. Sebagian merasa  bersyukur, sebagian lagi merasa kasihan. “Apa yang menarik perhatianmu sedari tadi?”
“Tidak ada Bu” jawabku.
“Kau mencuri waktu diantara penjelasanku di papan tulis, jangan kau berani berfikir aku bodoh” wanita itu mendekat. Bau manis parfumenya selalu tercium begitu busuk di hidung- hidung kami yang gugup. Sejujurnya dia tidak pernah tercium manis atau bahkan pahit.
“Tidak Bu” aku mengutuk. Apa tidak ada kata yang lebih tangguh dari itu?
“Apa yang kau perhatikan di belakang?” kemudian dia memindai deretan belakang. Di sana ada; Larie, Vabian, Fee, dan Prime. Ke-emapat dari mereka sama- sama menghujamku dengan tatapan yang sulit ku terjemahkan dalam keadaan seperti ini.
“Larie?” secepat cahaya bintang Larie menegang. Rambutnya yang jatuh menutupi matanya terlihat lepek dengan keringat. Bu Dodds melihat ke arah Larie dan aku secara bergantian. Curiga ada sesuatu yang kami sembunyikan. Aku mengepit perutku. Sejurus rasa mules menubruk dan merusak tata surya metabolismeku
“Bu..bukan.. bu. Bukan Larie. Saya tidak melihatnya. Saya tidak melihat sipapun?”
Ketika tatapan menghakimi itu tidak pernah berkurang dari teman- teman sekelasku, saat itu aku baru menyadari begitu asing mereka bagiku. Bu Dodds melangkah lebih mendekatiku. Dalam hati aku memohon agar dia tidak mendengar detak jantungku yang melolong dengan ritme ketakutan.
“Tidak, bukan Larie. Aku tahu. Tapi Prime”
Seisi kelas mendesah. Berbisik. Menggerutu. Atau menyumpah. Rasanya nama Prime melonggarkan korset di perut mereka hingga mereka terlihat lebih rileks dengan keteganganku yang menjadi- jadi. Anehnya aku tidak mengeluarkan kata apapun ketika Bu Dodds menyebut nama Prime didepan wajahku.
Dari arah belakang Prime melihatku. Mungkin dia menatap punggungku yang kurus, makanya aku merasa punggungku seperti meleleh dengan bulir- bulir keringat meluncur dari tulang belakangku hingga menembus rok sekolahku.
“Apapun urusan yang kau dan Prime miliki, tolong jangan mangacaukan kelasku” bisikannya persis seperti desisan ular hingga setiap vokalnya tidak terdengar jelas.


Hari itu terasa lebih panjang dari hari- hari lain yang begitu sangat panjang bagiku. Dalam hati aku sepakat bahwa bau badanku sangat asam sekarang, di lansir dari kelembaban seragam sekolahku yang nyaris menyatu dengan kulit punggungku. Sesekali teman- teman sekelasku melirik dengan kesal saat kami keluar kelas. Aku tidak mengubris, karna ini bukan yang pertama. Aku hampir tidak pernah membuat keributan sama sekali tetapi mereka tetap buas terhadapku. Soal Prime, aku tidak mencarinya sepanjang hari setelah insiden Bu Dodds. Aku harus menunjukkan rasa bersalahku.
“Apa kita punya urusan?” sebuah suara muncul. Meluncur melewati punggungku. Kupejamkan mataku sejenak berfikir apa sebaiknya aku pingsan atau berbalik dengan keberanian baja karna aku tahu itu Prime.
Ketika aku berbalik dan kami saling berhadapan di tengah koridor, Prime masih terlihat mengenakan jaket kulit yang tadi dipakainya. Kalau begini aku bisa lebih jelas memindainya. Dia lebih tinggi dari yang sering aku tebak. Rambutnya sedikit kering tapi tidak berantakan. Jari- jarinya terlihat kasar.
“Apa aku punya urusan yang belum aku selesaikan denganmu?”
“Setelah kupikir-pikir sepertinya tidak”
“Bagus. Karna aku tidak suka dengan urusan yang tidak selesai”
Aku menunduk. Menatap ujung sepatuku juga petakan-petakan lantai yang sama besar. “Aku minta maaf,” kataku. “Seharunya aku membuat keributan lain saja tadi. Bukan keributan menyangkut dirimu”
“Jadi aku tersangkut dalam insiden tadi?”
“Tidak” jawabku tergagap.
“Tidak?”
“Bukan__maksudku, iya”  aku menunduk lagi. Merasa salah.
“Bisa kau jelaskan mengapa aku tersangkut dalam insidenmu?”
“Tidak ada masalah besar. Kau hanya baru membuat rasa heranku muncul hari ini. Awalnya aku tertarik dengan keping logammu” aku melirik tangan kirinya dan logam yang kumaksud tidak ada “Setelah kupikir lama, kau juga jarang bicara dan duduk sendirian”.
“Kau juga duduk sendirian, kita semua duduk sendirian di kelas”
“Tidak, maksudku. Kau tidak terlihat dengan siapa- siapa”
“Kau juga tidak”
“Iya, tapi, kau berbeda”
“Berbeda darimu itu pasti, aku laki- laki tulen.”
“Bukan__arghhh” erangan kesal itu terdengar tertahan dalam nada yang pelan. Percuma berdebat atas prestasi menjadi terkonyol seperti ini.
“Kau hanya tidak banyak bicara. Tidak mendominasi pada sesuatu. Tapi juga tidak bodoh atau malas” aku menarik nafas. “Kau seperti itu. Bukan masalah besar. Aku hanya tertarik untuk mempertanyakannya”.
Kini giliran Prime yang jatuh ke ujung sepatunya. Seketika aku melihat dinding- dinding waktu yang aku dan Prime miliki meleleh seperti lilin. Pelan- pelan terlihat hal- hal yang di sembunyikannya. Seperti buku tua yang berdebu.
“Ikut aku” seru Prime.
“Apa?”
“Kau bilang kau ingin melihatku bicara. ayo ikut aku”
Laki- laki itu berjalan di depanku. Tidak terlihat takut atau marah. dia berjalan setenang biasanya. Dinding waktu pergi entah ke mana dan aku bisa melihat sesuatu menggantung di kedua bahunya. Saat itu aku tahu, dia kelelahan.
Kami melewati jalanan setapak dengan rumput- rumput liar di pinggirnya. Aku menerka- nerka ini arah menuju hutan kecil belakang sekolah. Aku pernah dengar kalau di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil yang memisah antara gedung sekolah dan pemukiman penduduk kecil. Ketika matahari terlihat merah menerpa wajah kami yang kusam, kami sampai pada sebuah pohon yang sudah di sulap menjadi gubuk kecil yang menggantung di pucuknya.
Prime menoleh kebelakang sebelum menaiki tangga gantung. Seperti mengatakan ‘Perhatikan langkahku, dan ikuti’. Kemudian gilaranku. Gubuk itu tidak terlihat lebih dari apapun. Nyaris seperti sangkar burung. Gubuknya di lengkapi jendela dan pintu mini.
Ketika pintu terbuka Prime berdiri menyamping dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. pada langit langit di gantung bohlam yang di balut dengan botol- botol minuman bekas berwarna bening. Ada tumpukan barang- barang dan beberapa buku tua dengan cover keras. Juga ada sekitar lima piringan hitam tersusun di samping fonograf. Juga ada sebuah gitar coklat yang terududuk tanpa kata di sudut rumah burung ini.
Prime membuka jaketnya kemudian menggantungya pada ranting pohon yang terpotong. Ternyata Prime punya ke dua lengan yang kuat. Urat- uratnya tegas dan berani. Kulit area lengan terlihat lebih gelap akibat terbakar. Juga otot perutnya yang tipis mengintip dari balik kancing seragam sekolah. Aku masih berdiri berputar dengan pikiranku tentang Prime dan sarang burungnya.
“Duduk saja di atas tumpukan majalah itu” aku mengikuti telunjuknya. Begitu menemui tempat yang di maksud aku langsung mendarat dengan sangat pelan.
“Kau yang bangun?” Prime duduk di atas jendela sambil bersandar pada sisi di belakangnya. Warna merah matahari di depan kami menerpa wajahnya hingga membentuk siluet.
“Iya. Kenapa? keren ya?”
“Sedikit “ kataku tanpa berniat membuatnya tersenyum seperti menarik lebar  ke dua ujung  bibirnya.
“Ini rumah rahasia ya? Seperti di film- film.”
“Bukan, ini rumah tempat bermimpi”
Sekali lagi aku mengitari rumah pohon yang hanya habis dipindai tanpa harus memutar bola matamu berkali- kali. Bau dedaunan dan ranting pohon yang terpotong menerpa kami berkali- kali. Sedang matahari terus turun ke suatu tempat di bawah kami, kemudian, Prime menjentikkan saklar lampu gantung di atas kepala kami. Ketika lampu menyala, keindahan sederhananya bertambah. Membentuk sebuah rahasia yang dingin dan nyaman.
“Jadi, kenapa kau mengajakku ke sini. Kita kan bukan__ maksudku, sebelumnya belum pernah berteman” kusibakkan rambutku ke belakang dan membentuknya menjadi gundukan tinggi di belakang kepalaku.
“Kalian semua temanku. Semua orang yang pernah bertemu denganku adalah temanku. Karna keterbatasan kemampuanku memilih-milih, kemudian aku mulai menjadikan semua orang menjadi temanku. Kalau seperti itu rasanya aku tidak sendirian tanpa harus mengajak mereka bicara. Karna mereka semua berada dalam tas ranselku”
“Jika mereka teman, seharusnya kau harus bicara”
“Untuk apa?”
“Agar kau dan mereka mengenal satu sama lain. Tanpa bicara segala hal menjadi berjalan salah arah”
“Tidak juga. Mereka Cuma cukup duduk di suatu tempat dan memperhatikanku. Ketika mereka ingin mempelajariku mereka akan segera mengerti harus bagaimana. Seperti yang kau lakukan, Violet. Kau duduk dan mengumpulkan rasa penasaranmu dalam waktu yang cukup lama. setelah kau mengerti kita akan bertemu dan bicara. Seperti saat ini. Aku membiarkan kalian mempelajariku, dan membiarkan kalian memilihku untuk menjadi teman bicara atau tidak sama sekali. aku membiarkan keputusan berada di tangan kalian, bukan ditanganku.” Prime berhenti sejenak mengumpulkan segenap udara yang masuk dari lubang hidungnya. “Aku itu semacam buas, atau lemah, atau idiot. Jika seseorang sudi mendekatiku, maka dia adalah teman. Karna dia melihatku dari ke tiga arah itu”
Penjelasan panjangnya membuatku ingin duduk lebih lama lagi. Lepaskan dulu kecemasanku tentang rumah. Toh, aku juga akan kembali ke sana mau tidak mau. kali ini biarkan aku lepas menjadi burung atau semacamnya.
Kemudian tempat itu berubah sepi. Baik aku atau Prime membiarkan nafas kami berhembus bergantian dalam diam.
“Kau punya mimpi?” katanya kemudian tanpa melihatku.
“Bagaimana denganmu?” balasku dengan pertanyaan baru.
Dari sana Prime menoleh ke arahku. Setelah menimbang sesuatu dalam kepalanya kemudian dia bangkit dan mengambil sesuatu dalam karung tumpukan barang. Tidak lama Prime kembali dengan lembaran kartu di tangannya. Awalnya aku pikir kami akan bermain kartu, karna jujur aku tidak paham dengan permainan apapun menyangkut kartu.
Prime duduk kembali di tempat semula. Tanpa memerintah apapun padaku dia mulai memutar- mutar kartu di kedua tangannya, hingga kartu bertukar- tukar gambar. Dari Queen menjadi King, kemudian Hati menjadi Wajik. Kartu terus berputar- putar di kedua tangannya. Bermain di antara sela- sela jarinya, kadang terlihat melompat dari satu jari ke jari lainnya. Seperti dia merapalkan sebuah mantra dan kartu- kartu itu mengikuti kehendaknya. Sampai ketika aku benar- benar terlena dengan permainan tangannya, dia berhenti, terdengar sebuah jentikan dan sebuah kartu As Hati muncul di depan hidungku. Hanya sebuah kartu.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyaku. “Kemana perginya kartu yang lain?” aku menunjuk- nunjuk dengan telunjuk yang menggantung diantara udara kosong yang memisahkan kami. Prime hanya menarik sebelah ujung bibirnya, hingga senyumnya terlihat miring dan tidak seimbang.
“Perhatikan” serunya. Kemudian selembar kartu As yang tadi di pegangnya di lempar ke udara. Kami berdua menangah mengikuti gerak kartu itu yang melayang dan menantinya turun bersama tarikan gravitasi. Namun ketika aku berharap selembar kartu yang jatuh kalah di depanku, berlembar- lembar kartu turun menghujaniku dan berserakan di lantai kayu.
“Apa? Tidak mungkin.”
“Mungkin” katanya girang, dan aku bisa merasakan setiap kerenyahan dari nada suaranya.
Untuk beberapa saat kami tertawa. Aku yang tidak percaya dia bisa melakukan itu dan Prime yang tidak percaya dia menunjukkan itu padaku. “Sudah kubilang, di sini tempat kau bermimpi”.
“Jadi kau susah- susah membuat sangkar begini hanya untuk bermain trik semacam itu?”
Prime mengangguk .“Setelah Ayahku membakar semua kartu- karut milikku. Juga beberapa barang lain yang aku punya untuk bermain trik, aku membangun tempat ini” ketika dia berkata begitu, aku merasakan segenap suara patahan menyergapku malam itu. Patahan dari dalam dirinya. Prime memungut selembar kartu clover, kemudian memainkannya.
“Setelah ayahku tahu aku menyukai ini, dia membakar semua barang- barangku tanpa sisa. Melucuti segala sesuatu yang mendefinisikan diriku. Aku tidak tahu dia marah atau kecewa saat itu. Dia hanya terlihat begitu murka.”
Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tiba- tiba suara patahan tadi terdengar lagi, kali ini dari dalam diriku. Suara patahan yang sama nyaringnya seperti milik Prime tadi. Aku bungkam dan membiarkan Prime menceritakan ceritanya pelan-pelan sampai habis jika dia mau.
“Aku mengerti, ayahku hanya orang biasa yang tidak biasa hidup dalam kekonyolan seperti permainan trik. Dalam kamusnya, hidup itu tidak semudah trik yang aku mainkan”
“Jadi karna itu kau membangun rumah pohon?”
Prime tersenyum kemudian menoleh ke arahku. “Setelah kupikir-pikir ada bagusnya jika aku membangun tempat ini. tempat dimana aku bisa menuang mimpiku dan menyimpannya di dalam kardus- kardus. Karna aku tahu, suatu hari aku akan kehilangan diriku yang sebenarnya. Dan setidaknya jika aku punya rumah pohon, aku bisa mengenang diriku sesekali ketika aku sudah tua dan berperut buncit. Dengan begitu aku tidak menjalani hidup dengan rasa penyesalan yang penuh.”
“Kalau begitu aku tidak salah masuk ke sini” Prime manarik nafas ketika memperhatianku bicara, dan ketika dia menarik nafas dadanya yang bidang menggembung di balik seragam sekolah. “Kalau boleh aku juga ingin menanam mimpiku di sini, supaya waktu tua aku tidak terlalu menyesal juga” kataku dengan air yang mulai menggenang di pelupukku.
“Kau bisa menanam mimpi apa saja di sini, Violet. Ceritakan padaku “
Sebelum mulai, aku menekuri lantai kayu, alasanya hanya untuk mengalihkan pandangan Prime yang langsung menuju bola mataku yang kebanjiran. Aku tidak mau menangis di depan teman sekelas yang baru berbicara hari ini denganku.
“Ayahku merusak gitar satu- satunya yang kumiliki beberapa waktu lalu. Aku beli dengan hasil bekerja sebagai tukang dapur di kedai kopi. Gitarnya di banting beberapa kali di lantai kemudian di ayunkan menghantam tembok. Keadaannya rusak parah, walaupun aku sudah mencoba berkali- kali memperbaikinya. Sudah hancur. Tidak ada yang bisa di perbaiki walaupun di beri lem.”
“Rusak parah ya?”
“Banget”
“Kau ingin menjadi pemain gitar? Kau pandai main gitar?”
“Tidak begitu, hanya bisa memainkan nada- nada dasar. Aku beli karna aku ingin ada yang menemaniku ketika aku bernyanyi. Agar aku tidak sendiri. Boleh dibilang, aku suka bernyanyi. Tapi suaraku tidak bagus.”
“………………….”
“Ayahku bilang, semua musisi berakhir dalam umur yang singkat. Semua pemain seni hanya hidup hancur- hancuran. Pemain seni orang paling rusak dan tidak bisa diharapkan. Dia sering cerita kalau saat masa mudanya dulu banyak anak band yang mati karna over dosis. Katanya, Whitney Houston juga mati karna obat. “
“……………….”
“Ketika semuanya dilucuti dari kita, apa yang akan tersisa untuk kita nanti? Apa kita kan menjadi sesuatu yang baru? menjadi sesuatu yang akan membuat kita menjerit kaget setiap bercermin.”
“Membuat kita menjadi suatu cerita tanpa titik.” Ujar Prime dalam nada yang pelan. “Ketika semuanya di tulis ulang dengan bolpoin yang bukan milik kita maka kita sulit menemukan dimana kita seharusnya memberi titik. Cerita berubah menjadi hal yang tidak cukup bagi kita karna kita tidak menemukan apapun tentang diri kita sebenarnya, maka kita tidak akan mengizinkan titik mengakhiri semuanya. Apabila kita menyerah untuk memunculkan titik, maka cerita selesai. Buku di jual atau di simpan. Dengan demikian cerita bohong itu mendefinisikan kita selamanya di dunia.”
Prime bangkit. Kemudian meraih gitar yang duduk diam sedari tadi. Dia meniup debu tipis di atas gitar kemudian duduk di atas lantai kayu di hadapanku. “Tiba- tiba saja aku ingin bernyanyi” dia tersenyum simpul. Prime memetik senar dengan irama pelan dan tenang. Kemudian dia merapalkan kata- kata yang begitu pelan dari bibirnya.
“When I counted up my demons
Saw there was one for every day
With the good ones on my shoulder
I drove the other ones away”
Dalam hati aku hanya mengikuti beberapa bait yang aku tahu. Kalau aku tidak salah lagu itu berjudul Everything’s Not Lost. Prime memetik senarnya dengan mata terpejam dan bibir yang bergerak- gerak pelan. Dari sini, ketika dia terpejam seperti yang sering dilakuakannya dalam kelas, kerutan- kerutan lelah terlihat begitu jelas di ujung-ujung matanya.
“Prime, apa kau akan mengakhirinya dengan titik suatu saat?”
“Tidak, aku akan membiarkan ceritaku tanpa titik. Aku tidak akan membiarkan cerita bohong mendefinisikanku sampai habis.”
“Kalau begitu kita membiarkan mimpi- mimpi kita bersama lampu- lampu gantung, buku-buku tua, juga piringan hitam di rumah pohon ini?”
“Iya.”
“Ok.”








THE INTERN REVIEW; EXPERIENCE NEVER GETTING OLD

Photo originally from alphacoders.com Experience never getting old, quote sempurna dari film The Intern yang melekat dengan baik di dalam ke...

POpular Post